Kartosuwiryo lahir di Cepu, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Blora pada tanggal 7 Januari 1907. Ayahnya seorang mantri candu.
Dimasa kecilnya, Kartosuwiryo diketahui memulai pendidikannya di Tweede Inlandsche School. Tamat dari sana, ia kemudian dikirim ke Rembang, Jawa Tengah di Hollandsch Inlandsche School.
Tak lama kemudian orang tuanya kemudian menyekolahkan pemimpin Darul Islam itu di Europeesche Lagere School. Itu merupakan sebuah sekolah elit untuk anak belanda dan para bangsawan di Bojonegoro, Jawa Timur.
Tamat dari sana, orang tuanya kemudian menyekolahkannya di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), sekolah kedokteran yang berada di Surabaya. Disinilah ia kemudian mulai mengenal dan tertarik dengan dunia pergerakan.
Dikutip dari buku Seri Tempo: Kartosuwiryo yang ditulis oleh Tim Buku Tempo (2016), disebutkan bahwa ide-ide kebangsaan bahkan cenderung ‘kiri’ diperolehnya dari buku bacaan sosialisme milik pamannya yang bernama Mas Marco Kartodikromo. Pamannya ini dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam ‘Merah’. Ia juga bekerja sebagai seorang wartawan.
Dari pamannya juga ia kemudian terjun ke dunia politik pergerakan. Pada awalnya, ia bergabung dengan Jong Java setelah itu Jong Islamieten Bond. Dalam organisasi perhimpunan pemuda islam ini, pengetahuan akan keislaman banyak ia baca dari buku-buku.
Ia juga berguru pada beberapa kiai-kiai. Ia diketahui memiliki guru mengaji bernama Notodiharjo yang dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam yang berasal dari Jawa Timur.
Ia Ia akhirnya memilih untuk indekos di rumah HOS Cokroaminoto di Surabaya sembari belajar. Di rumah Cokroaminoto juga, Kartosuwiryo bertemu dan tinggal bersama dengan Soekarno, Musso, Semaun, Alimin, Darsono hingga Tan Malaka (Biografiku.com)
Ia pun melepaskan studinya dan menjadi korektor dan kemudian redaktur harian Utusan Hindia (Surabaya)milik SI.Sewaktu keluarga Tjokroaminoto pindah ke Cimahi dan kemudian ke Jakarta, ia pun ikut pindah.
Di Jakarta Kartosuwiryo membantu Tjokroaminoto dan Agus Salim mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Pada saat itu kedudukan Kartosuwiryo di partai mulai menanjak. Mula-mula ia duduk dalam Lajnah Tanfidziyah (Badan Eksekutif), lalu menjado anggota Dewan Partai.
Pada zaman Jepang Kartosuwiryo bekerja pada kantor MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) yang kemudian menjadi Masymi dan sering menulis di majalah yang diterbitkan organisasi keagamaan tersebut, MIAI dan Suara Masyumi.
Pada masa revolusiia sempat diminta untuk duduk dalam Kabinet Amir Syarifuddin I sebagai Menteri Muda II Pertahanan , tetapi ia menolak.
Kartosuwiryo juga menjadi Pengurus Besar Masyumi dan mewakili partai ini dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat.
Ketika terjadi Agresi Militer 1 dan 2, Kartosuwiryo bergerilya di wilayah Jawa Barat. Ketika pasukan RI harus hijrah akibat perjanjian Renville, ia mulai merasa dikhianati oleh RI, maka ia memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) lengkap dengan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI).
Darul Islam sering dianggap sebagai gerombolan pengacau karena aksi-aksi mereka yang merugikan rakyat. Beberapa kali gerombolan ini melakukan usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Situasi ini dimanfaatkan PKI untuk menghantam Masyumi dengan mengkaitkannya dengan DI meskipun sebenarnya Kartosuwiryo sudah melepaskan diri dari Masyumi (Soebagijo I.N., 2004 : 199).
Dengan operasi terus menerus pemerintah RI mampu mempersempit ruang gerak DI dan dengan operasi pagar betis , Kartosuwiryo beserta keluarga dan beberapa pengikutnya dapat di tangkap di Gunung Rakutak, Kabupaten Bandung, Ia dihadapkan ke Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati. Kartosuwiryo menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan regu tembak pada tahun 1962. Jenazahnya dimakamkan di Pulau Ubi , Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.
Kartosuwiryo dan Sukarno
Pemberontakan DI/TII terhadap pemerintahan Indonesia merupakan sebuah permusuhan dua sahabat lama, Kartosuwiryo dan Sukarno yang meruncing. Dalam buku yang ditulis Holk H. Dengel berjudul Darul Islam NII dan Kartosuwiryo (1995) disebutkan bagaimana ia memerintahkan ajudannya untuk membunuh Sukarno tahun 1961.
Percobaan pembunuhan terhadap Sukarno oleh DI/TII sendiri terjadi pada tahun 1962. Kala itu, anggota DI/TII yang terdiri dari Mardjuk, Sanusi, Abudin, Djaja, Napdi, dan Kamil diperintahkan untuk membunuh Sukarno. Kemudian anggota bernama Sanusi mencoba menembak Sukarno dari jarak 7 meter saat shalat Idul Adha berlangsung dihalaman istana kepresidenan.
Upaya pembunuhan itu gagal. Mardjuk, Abudin, Djaja, Napdi, Kamil dan Sanusi kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Perlawanan Kartosuwiryo sendiri berakhir tepatnya pada tanggal 6 juni 1962. Ia tertangkap oleh pasukan Kompi C Batalion 328/Kujang II Divisi Siliwangi setelah bersembunyi di gunung Rakutak, Jawa Barat (Biografiku.com).
Suhanda
Prajurit yang menangkap Kartosuwiryo adalah Pelda Suhanda. Sampai tahun 1997 saya masih sering bertemu beliau di kediamannya di KPAD Gegerkalong Bandung, ketika itu beliah sudah pensiun dengan pangkat Kolonel TNI AD (Purn). Istrinya adalah kawan saya di DPRD Kabupaten Bandung. Nyonya Suhanda dari Fraksi Golkar dan saya dari Fraksi PDI.
Kisah penangkapan Kartosuwiryo di wilayah Kabupaten Bandung sudah ditulis secara rinci oleh Cornelis Van Dijk dalam bukunya Darul Islam Sebuah Pemberontakan.
Komentar
Posting Komentar