Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa.
Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi). Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944).
Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam surat kabar di Surakarta, Djawi Hisworo, pada bulan Januari 1918 yang memfitnah Nabi Muhammad SAW sebagai pemabuk dan pemadat. Kaum muslim menjadi sangat marah. Pada bulan Februari kaum muslim membentuk suatu komite yang dinamakan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Ada yang mengatakan komite itu dipimpin langsung oleh Tjokroaminoto.
Comité voor het Javaansch Nationalisme mengeluarkan suatu pamflet yang mengutuk fanatisme agama tetapi juga mencela gaya artikel Djawi Hisworo tersebut, namun Islam seperti yang kini diajarkan oleh kaum pembaharu mereka anggap sebagai impor barang asing yang tidak disukai (2005:367).
Surat kabar dwi bahasa (Jawa dan Melayu) Djawi Hisworo (Raja Jawa) terbit di Solo antara tahun 1891-1919 diasuh oleh Dirdjoatmodjo. Surat kabar ini diterbitkan bersamaan dengan SK Djawi Kondo, keduanya gemar memuat berita orang Eropa yang diadili karena tindakan mereka yang melanggar hukum dan peraturan pemerintah (Atmakusumah, 2004:384).
Komentar
Posting Komentar