Pada tanggal 7 Juli 1919 rombongan residen beserta asisten residen dan bupati yang diperkuat 27 orang polisi bersenjata datang untuk menangkap Haji Hasan di Desa Cikendal, Kawedanan Leles, Kabupaten Garut. Setelah pembicaraan dua jam Haji Hasan bukannya ikut ke Garut tetapi malah masuk ke rumah diikuti para pengikutnya. Setelah menutup pintu dan jendela mereka berzikir bersama. Meski diberi dua kali tembakan peringatan mereka tetap berzikir. Tembakan ketiga diarahkan ke rumah sehingga jatuhlah korban : dari 116 orang lakilaki dan perempuan termasuk anakanak, empat tewas seketika termasuk Haji Hasan, satu tewas kemudian, 19 meninggal di RS. Penyebab peristiwa berdarah itu karena Haji Hasan enggan mematuhi ketentuan penjualan padi kepada pemerintah kolonial sebanyak 42 pikul dari 250 pikul hasil sawahnya, seharga f 4 per pikul padahal di pasaran berharga f 7,5 per pikul.Terjadila h pro kontra. 4000 orang melakukan rapat protes di lapangan Gambir. Di antaranya anggota Volksraad : Stokvis, Abdul Rivai, Abdul Muis, Tjipto Mangunkusumo, Dwijosewoyo, Sastrowiyono, Stibbe, Cramer, Teeuwen. Dibentuklah panitia peneliti : De Roo dela Fille dari pamongpraja, Dijkstra dari militer, Wolterbeek dari kejaksaan. Di luar itu Dr Hazeu ditugaskan meneliti perasaan dan pendapat penduduk tentang peristiwa tersebut. Praktiknya Hazeu tidak bisa bekerja karena selalu diawasi gerakgeriknya. Pemerintah melancarkan tuduhan bahwa Sarekat Islam terlibat dalam komplotan rahasia bernama Afdeling B. Gerakan revolusioner ini telah tersebar di seluruh daerah Priangan. Pimpinan Central Sarekat Islam, Sosrokardono terlibat. Bupati Garut menuduh SI punya empat macam bendera, hitam berarti semua menak zalim akan dibunuh, kuning berarti semua Tionghoa harus dibunuh, merah berarti semua orang Eropa harus dibunuh, putih berarti Tjokroaminoto akan dinobatkan sebagai Raja. Usaha SI membela diri gagal, Sosrokardono dihukum empat tahun, Tjokroaminoto pun ditahan. Sejak itu anggota SI menurun drastis.
Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...
Komentar
Posting Komentar