Langsung ke konten utama

Para Ulama Minangkabau


Syekh Tahir Jalaluddin dan Syekh Ahmad Khatib.
Pada tahun 1906 surat kabar Al Imam (Pemimpin Agama) yang berbahasa Melayu mulai terbit di Singapura dengan menyajikan analisis Islam modernis pertama yang benar-benar mendalam mengenai masalah-masalah sosial, agama dan ekonomi. Salah seorang ulama Minangkabau terlibat di dalamnya. Namanya Syekh Tahir bin Jalalluddin (1869-1947) yang merupakan putra seorang syekh Naqsabandiyah asal Minangkabau yang terkenal. Syekh Tahir Jalaluddin pernah menetap di Mekah selama 12 tahun bersama sepupumya Syekh Ahmad Khatib (1852-1915) yang merupakan imam madzhab Syafi'i di Masjidil Haram Mekah. Banyak pemimpin pembaharuan Indonesia menjadi muridnya. Meski membela mazhab Syafi'i tetapi dia memperkenankan murid-muridnya membaca karya-karya kaum modernis.
Dari Mekah Syekh Tahir Jalaluddin meneruskan belajat ke Kairo selama empat tahun, di mana dia dipengaruhi oleh ide-ide Abduh dan menjadi sahabat Rasyid Ridha. Sementara Syekh Ahmad Khatib mendukung ide pembaharuan dan mencela paham sufi yang sangat berpengaruh di Indonesia. Pada tahun 1906-8 ia menulis tiga risalah yang secara khusus mencela praktik-praktik Naqsabandiyah dengan alasan bahwa praktik-praktik itu bidah.
Syekh Muhammad Djamil dan Haji Rasul.
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947) pulang dari Mekah kembali ke Minangkabau pada tahun 1903. Sementara Haji Abdul Katim Amrullah atau Haji Rasul (1979-1945) kembali dari Mekah pada tahun 1906. Keduanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib dan keduanya muslim modernis. Haji Rasul sangat terkenal karena penentangannya yang keras terhadap adat atau siapa saja yang menentang dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s