Langsung ke konten utama

Muhammadiyah (Jalan Muhammad)

Muhammadiyah (Jalan Muhammad) didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang berasal dari elite agama kesultanan Yogyakarta, pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijah 1330) di Yogyakarta dan merupakan organisasi gerakan pemurnian Islam yang pertama kali mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda sehingga mendapat subsidi.
Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD) lahir di Yogya tahun 1868 putra keempat KH Abubakar, Khatib Mesjid Besar Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bernama kecil Muhammad Darwis. Setelah belajar agama dan bahasa Arab di pesantren, melanjutkan pendidikan di Mekah selama lima tahun sampai usia 20. Ia ke Mekah kedua kalinya (1902-1904) selama dua tahun untuk mempelajari gerakan pembaruan yang terjadi di Mesir Arab dan India. Ia pun mempelajari pemikiran ulama madzhab Hanafi seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dengan tafsir Al Manarya, Jamaluddin Al Afghani serta Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan gerakan Wahabinya sebelum mendirikan Muhammadiyah yang tak bermadzhab dan hanya mengacu pada Al Quran dan Hadits. Ia pun menjadi anggota Sarekat Islam dan Budi Utomo (BU). Saat BU berkongres di rumahnya, ia mempengaruhi para peserta dengan tabligh-tablighnya sehingga Muhammadiyah yang semula beraktivitas di wilayah Yogyakarta lalu menyebar ke Jawa, tahun 1920 menyebar ke Minangkabau. Yang memperkenalkan organisasi ini di Minangkabau tidak lain adalah Haji Rasul sendiri.
Muhammadiyah kemudian menyebar ke Bengkulu, Banjarmasin, Amuntai, dan tahun 1927 ke Aceh,Makasar dan kemudian seluruh Indonesia. Pada tahun 1938 organisasi ini telah mengelola 836 mesjid, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah serta memiliki 5.516 orang mubalig serta 2.114 mubaligah.
Bung Karno pernah menjadi ketua bidang pendidikan Muhammadiyah cabang Bengkulu saat menjalani masa pembuangannya di sana.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modernis paling penting di Indonesia bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial dengan membangun mesjid, sekolah, Perguruan Tinggi, Rumah Sakit dan panti asuhan. Semua itu terjadi setelah KHAD mengalami masa penolakan bahkan ia pernah dianggap sebagai Kiai palsu. Muhammadiyah tergolong dalam gerakan salafiyah, semboyannya yang terkenal adalah "kembali kepada Al Quran dan Sunnah Nabi SAW ; menegakkan masyarakat Islam yang sebenarnya".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s