Langsung ke konten utama

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

 


Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas.

Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di  Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak.

Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman  meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) di Banyumas.

Pada bulan Juli 1945 Sudirman bersama beberapa opsir Peta lainnya diasingkan ke Bogor, nyaris dihukum mati namun akhirnya dibebaskan.

Setelah proklamasi kemerdekaan, sebagai Panglima Divisi Daerah Banyumas dan Kedu, Sudirman mengalahkan Sekutu di Ambarawa pada akhir tahun 1945. Karena jasa dan pengabdiannya ia terpilih menjadi Panglima Besar APRI dengan pangkat jenderal melalui sebuah pemilihan oleh para Panglima Divisi dan Komandan Resimen.

Sejak meletusnya Pemberontakan Madiun, kesehatan Sudirman terganggu. Menurut para dokter ia mengidap penyakit TBC, meski ia sendiri tidak diberi tahu mengenai penyakitnya itu hingga wafatnya.  Sudirman menjalani frenikotomi, operasi untuk mengistirahatkan salah satu paru-paru sebelah kanan.

Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 14.30 Pak Dirman menerima laporan tentang serangan Belanda terhadap Yogyakarta. Sekitar pukul 14.30 Sudirman beserta rombongan meninggalkan ibu kota Yogyakarta. Sebelumnya ia memberi instruksi kepada Kapten Soepardjo Roestam untuk menyampaikan Perintah Kilat kepada segenap anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) agar melancarkan perang gerilya terhadap Belanda. Perintah Kilat itu diumumkan melalui corong RRI.

Sudirman (Pak Dirman) berangkat meninggalkan Yogyakarta dalam keadaan fisik sangat lemah. Rombongannya terdiri atas dua ajudan, satu dokter pribadi, satu kompi pasukan pengawal. Ada pula Mohammad Yunus dan Harsono Tjokroaminoto. Ajudan pertama dengan dokter pribadi, dr. Suwondo, bertugas mengawasi kondisi kesehatan Pak Dirman, sedang ajudan kedua, Kapten Soepardjo Rustam, menjalan hubungan dengan markas komando di daerah-daerah yang akan dilalui Panglima Besar. Sedangkan yang bertindak sebagai Komandan Kompi Pengawal adalah Kapten Tjokropranolo.

Wilayah yang dilalui Pak Dirman dalam perang gerilya sepanjang 1.009 km meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, meliputi kabupaten Sleman, Bantul (Kretek, Grogol, Panggang), Gunung Kidul (Paliyan, Playen, Ponjong, Karangmojo), Wonogiri (Tirtomoyo, Semanu, Pracimantoro) , Ponorogo (Bajulan, Salamjudek, Liman, Serang), Pacitan (Pringapus, Gebyur, Nawangan, Ngambari, Sobo, Pakis Baru, Tokawi), Kediri (Karangnongko, Jambu, Banyutuwo),  dan Nganjuk (Sukaramai).

Selama bergerilya Pak Dirman biasa ditandu anak buahnya, tapi sesekali naik mobil atau dokar.

Sekembalinya dari perang gerilya, keadaan kesehatan Pak Dirman memburuk. Petang hari tanggal 29 Januari 1950, Pak Dirman wafat. Pemerintah RIS mengumumkan keputusan pemerinah untuk menaikkan pangkat Letnan Jenderal Sudirman secara anumerta menjadi jendral. Tengah hari tanggal 30 Januari 1950, iring-iringan pelayat dengan mengendarai mobil dan jalan kaki mengantarkan jenazah Jenderal Sudirman meninggalkan kota Magelang menuju Yogyakarta untuk dimakamkan di Taman Pahlawan Yogyakarta (Purwoko, 2004 : 293-296; Wahyuni, bangkapos.com, 15 Agustus 2021; dll.).

Mengenai nama wilayah yang dilalui Pak Dirman selama melaksanakan perang gerilya saya mendapatkannya dari beberapa sumber dan mencoba menggabungkan antara nama desa dan kabupaten yang mungkin tidak akurat hasilnya. Silakan pembaca memberikan koreksi jika menemukan adanya kesalahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s