Pada 18 Desember 1945, Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar.
Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi
dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang
pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan
kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan
wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan
35.000 tentara Indonesia (indonesiamandiri.id).
Panglima Tentara Keamanan Rakyat yang resmi dan sudah ditunjuk pemerintah
saat itu adalah Soepriyadi. Soepriyadi dikenal sebagai pemimpin gerakan
pemberontakan PETA di Madiun. Masalahnya, sejak ditunjuk sampai dengan merdeka,
dan situasi tentara dalam krisis kepemimpinan, Soepriyadi ini tidak pernah
tampil. Belakangan diduga ia tewas terbunuh oleh tentara Jepang.
Pemerintah Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Soetan Syahrir pun meminta harus
ada pertemuan seluruh pemimpin tentara untuk menentukan masa depan mereka.
Agendanya soal reorganisasi tentara dan agenda sisipan memilih pemimpin
tentara. Pertemuan digelar pada 12 November 1945 di Markas Tinggi TKR di
Gondokusuman, Yogyakarta.
Hadir selain dari kelompok militer di situ adalah Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sunan Pakubuwono XII, dan Mangkunegoro X. Wakil wilayah
dalam pertemuan itu agak pincang. Tercatat, hanya Jawa Barat dan Jawa Tengah
yang lengkap perwakilannya. Jawa Timur absen sebab di tengah serbuan tentara
Inggris dan Belanda dalam perang 10 November. Perwakilan Sumatra hanya
mengirimkan Kolonel Mohammad Noeh, yang mengklaim mewakili enam divisi. Tidak
ada wakil dari Kalimantan dan Sulawesi (Suryarandika, 2019 dalam Republika, 26 Januari 2016).
“Profesi ketentaraan Pak Dirman adalah seorang berpendidikan PETA; sedang profesi sipil beliau adalah sebagai guru sekolah Muhammadiyah, pemimpin Pemuda Muhammadiyah, pimpinan Koperasi Kabupaten, dan sebagai anggota Dewan Daerah DPRD. Pula sebagai pimpinan baik pramuka Hisbulwathon maupun Kepanduan Bangsa Indonesia. Ketika rapat dimulai lagi, pimpinan rapat dipegang oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis, dan pada papan tulis dicantumkan nama-nama calon, di antaranya yakni Hamengkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Prabunegoro, Oerip Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, M Pardi, dan Nazir... Oerip Soemohardjo yang usianya jauh lebih tua, diminta untuk tetap menjadi kepala staf umum TKR. Beliau dianggap mahir soal strategi militer dalam menghadapi tentara Belanda. Di samping itu juga, tokoh ini adalah seorang profesional di dalam urusan organisasi kemiliteran. Tetapi di pihak lain, latar belakang militernya sebagai seorang bekas opsir KNIL membuat dirinya dicurigai oleh banyak perwira TKR yang lebih muda usianya. Ini dapat dimengerti karena mereka-mereka ini tidak dididik dan dilatih oleh Belanda, musuh kita pada saat itu. Mereka-mereka pada waktu itu tidak bersedia memberikan kepercayaan dan dukungan kepada orang-orang yang pernah ikut Belanda” (Tjokropranolo, 1983).
Komentar
Posting Komentar