Langsung ke konten utama

Program Perjuangan Masyumi

 

Satu satunya partai politik yang diperbolehkan hidup di zaman Jepang adalah Mayumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan pada tanggal 7 November 1943 di Yogyakarta.  Partai ini merupakan gabungan partai dan organisasi Islam, yakni Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama . Masyumi merupakan kelanjutan dari organisasi sebelumnya, yaitu Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang didirikan tahun 1937 (Purwoko, 2004 : 53).

Masyumi adalah penjelmaan kehendak dan cita-cita umat Islam dalam lapangan polititik (kenegaraan) dan didirikan atas dasar persamaan persepsi dan keyakinan, serta kesatuan paham (ideologi) yang berdasarkan Islam.

Dalam periode 1943-1945, gerakan Masyumi lebih berfungsi sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dalam bidang politik dan untuk mengadakan konsolidasi aspirasi umat Islam melalui organisasi NU, Muhammadiyah serta PSII.  

Kegiatan Masyumi yang lain adalah membangkitkan kesadaran umat Islam untuk memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan kesanggupannya di dalam perjuangan politik, meningkatkan rasa persaudaraan sesama muslim, dan menjalankan ajaran Islam di berbagai aspek kehidupan.

Kepengurusan.

Dalam komposisi kepengurusan Masyumi dikenal istilah Majelis Syuro dan Pengurus Besar. Majelis Syuro adalah wadah untuk menilai perjuangan partai dari sudut akidah Islam, yakni apakah perjuangan partai menyimpang dari hukum-hukum Islam atau tidak. Bila tindakan partai dinilai tidak menyimpang dari hukum Islam  (halal), tindakan partai boleh dilanjutkan. Tetapi bila partai dinilai melanggar hukum Islam (haram), gerakan atau tindakan partai tidak boleh dijalankan oleh pemeluknya. Pengurus Besar bertugas memandang gerak dan perjuangan Masyumi dari sudut politik.

Pada bulan November 1945, para politisi Islam modernis perkotaan yang dipimpin Sukiman Wirjosandjojo, Natsir dan lain lain memperoleh kembali kekuasaan dari para pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang didukung Jepang (Ricklefs, 2001 : 446).

Keanggotaan.

Pada tahun 1950, anggota Masyumi diperkirakan mencapai 13 juta orang, meskipun yang terdaftar baru 600.000 orang dan yang memperoleh kartu anggota sebanyak 400.000 orang. Dengan demikian, partai ini jauh lebih maju daripada MIAI. Masyumi merupakan pusat organisasi ribuan guru di desa yang dipengaruhi langsung oleh Kantor Urusan Agama.

Perpecahan.

Seiring dengan pesatnya aktivitas Masyumi, partai ini mengalami perpecahan di kalangan anggotanya. Pada bulan Juli 1947, PSII keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya kembali sebagai partai independen karena PSII ingin memperoleh posisi dalam Kabinet Amir Sjarifuddin sedangkan Masyumi pada saat itu menjadi partai oposisi.

Pada tahun 1952, NU menarik diri Masyumi karena perebutan jabatan menteri agama pada Kabinet Wilopo. NU menginginkan tetap Wahid Hasyim (NU) dan bukan Fakih Usman (Muhammadiyah).  Di samping itu NU menitikberatkan perhatian kepada masalah pendidikan Islam dan amal kegamaan, sedangkan Masyumi lebih memperhatikan soal-soal ekonomi dan politik dalam program-programnya.

Pemilu 1955

Pada Pemilu 1955, partai Masyumi berhasil menduduki peringkat kedua dalam pengumpulan suara dengan 20,9 % suara. PNI memperolah 23,3 % suara, NU memperoleh 18,4% suaa, PKI 16,4 % suara, PSII 2,9 % suara dan Perti 1,3 % suara.

Bubar.

Karena keterlibatan Masyumi pada pemberontakan PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi Utara pada tahun 1958, pada tanggal 17 Agustus 1960, pimpinan pusat Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan . Pimpinan Masyumi Prawoto Mangkusasmito menyatakan pembubaran partainya.

Pada tanggal 7 April 1967 didirikanlah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) sebagai kelanjutan Masyumi. Tetapi pemerintah Orde Baru tidak mengizinkan para bekas pimpinan Masyumi memegang peranan dalam partai baru itu (Purwoko, ENI Jilid 10, 2004 : 53-55).

        Program Perjuangan Masyumi.

Dalam periode 1943-1945, gerakan Masyumi lebih berfungsi sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dalam bidang politik dan untuk mengadakan konsolidasi aspirasi umat Islam melalui organisasi NU, Muhammadiyah serta PSII. Kegiatan Masyumi yang lain adalah membangkitkan kesadaran umat Islam untuk memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan kesanggupannya di dalam perjuangan politik, meningkatkan rasa persaudaraan sesama muslim, dan menjalankan ajaran Islam di berbagai aspek kehidupan.

Program perjuangan Masyumi secara garis besar terdiri dari atas tujuh bagian , yakni kenegaraan , perekonomian, keuangan, sosial, pendidikan dan kebudayaan, politik luar negeri dan soal Irian Barat (Kongres Masyumi 1952).

(1)    Kenegaraan. Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara menurut hukum Islam, dengan bentuk negara republik berbentuk kabinet presidensial dengan menteri-menterinya yang bertanggungjawab kepada presiden. Negara hendaklah menjamin  keselamatan jiwa dan benda tiap orang, dan kebebasan beragama.

(2)    Perekonomian. Perekonomian hendaklah diatur menurut dasar ekonomi terpimpin. Perencanaan produksi dan distribusi penting untuk kesejahteraan rakyat seluas-luasnya. Monopoli oleh perusahaan swasta dilarang. Politik harga dan upah harus sesuai dengan kedaan perekonomian dalam negeri. Koperasi harus dibangun dengan bantuan pemerintah.

(3)    Keuangan. Masyumi menganggap perlu dikeluarkannya undang-undang bank swasta pribumi dan asing. Politik kredit perlu diawasi oleh pemerintah. Sistem pajak hendaknya disederhanakan dan tidak melampaui kekuatan rakyat. Keadilan perlu ditegakkan dengan memperhatikan usaha memajukan perusahaan nasional. Sebaiknya barang keperluan rakyat banyak tidak dikenai pajak, sebaliknya pajak kemewahan perlu diperluas.

(4)    Sosial. Undang-undang perburuhan perlu disempurnakan dengan memperhatikan jaminan soaial (kecelakaan, hari tua, penyakit dan pengangguran), dan yang mengangkut masalah perjanjian kerja, termasuk upah rendah pemberhentian kerja, cuti, serta penyelesaian pertikaian antara buruh dan majikan.

(5)    Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah swasta perlu dibina dan sekolah agama perlu diberi subsidi. Pengajaran rendah dan menengah hendaknya menumbuhkan ketrampilan anak di samping pengetahuan. Pendidikan agama di sekolah pemerintah dimaksudkan membentuk watak dan kepribadian, sehingga para pemuda menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab, berjiwa kemasyarakatan, berdidiplin dan berkesusilaan. Pemuda yang berbakat tetapi tidak mampu harus diberi beasiswayang cukup. Gerakan kebudayaan dibimbing oleh pemerintah ke arah pembentukan budi pekerti yang luhur . Gerakan pemuda termasuk kepanduan perlu ditingkatkan dan dibantu.

(6)    Politik Luar Negeri. Masyumi menentang penjajahandan menyokong setiap usaha untuk menghapuskannya. Politik luar negeri hendaklah bertujuan mempertahankan perdamaian dunia dan mencari persahabatam dengan semua bangsa, terutama dengan bangsa yang berasaskan ketuhanan dan demokrasi.  Kedudukan PBB hendaklah diperkuat, Negara-negara harus saling menghormati hak masing-masing dan menjunjung tinggi perjanjian antar bangsa. Bantuan luar negeri digunakan untuk mempercepat pembangunan negara , tanpa ikatan militer dan politik.

(7)    Irian Barat. Irian Barat masih tetap menjadi tuntutan nasional selama ia belum masuk kedalam wilayah Republik Indonesia  (Purwoko, ENI Jilid 10, 2004 : 53-54).

Dengan program-programnya tersebut, Masyumi dipandang sebagai Partai islam yang paling mampu memecahkan masalah-masalah sekular yang biasanya berkenaan dengan masalah pembangunan di bidang sosial ekonomi dan politik.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s