Langsung ke konten utama

Pemerintah Darurat Republik Indonesia

 


 

Agresi militer dilancarkan oleh tentara Kerajaan Belanda untuk kedua kalinya dalam upaya merebut Ibu Kota RI di Yogyakarta. Serangan itu dilakukan pada pada tanggal 19 Desember 1948 dengan sasaran pertama lapangan terbang Maguwo (Lanuma Adisucipto).

Beberapa jam kemudian tentara Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta dan menangkap beberapa pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Serangan ini merupakan pelanggaran terhadap Perjanjian Renville yang ditandatangani tanggal 17 Januari 1948 antara pemerintah RI dan kerajaan Belanda.

Sebelum ditangkap Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Menteri Perekonomian RI Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat. Kalau tidak mungkin supaya Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di luar negeri untuk menggantikan Mr. Syafruddin tersebut 

Pada tanggal 27 Desember 1948, Presiden Sukarno, Sutan Sjahrir dan H. Agus Salim diasingkan ke Brastagi, sedang Wakil Presiden Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Mr. Ali Sanstroamidjojo, Mr. Asaat diasingkan ke Bangka (Masyhuri, 2024 : 167; Supeni, 2001 : 291-293).

Syafruddin yang berada di Bukittinggi ketika serangan Belanda dilancarkan, tidak mengetahui adanya mandat tersebut. Hal ini disebabkan karena terputusnya jalur komunikasi antara Yogyakarta dan Bukittinggi akibat serangan Belanda terhadap kedua kota itu. Setelah mengetahui dengan pasti Presiden beserta pimpinan pemerintahan lainnya ditawan, bersama pemimpin sipil dan militer di Sumatra Barat, Syafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 22 Desember 1945.

Pembentukan PDRI

Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menguasai ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, wilayah perkebunan teh, 15 Km di selatan kota Payakumbuh.

Sejumlah tokoh pimpinan republik  di Sumatera Barat dapat berhimpun di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri selain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut dformalkan kepada membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan bangunan sebagai berikut:

Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim; Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama; Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda; Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman; Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan; Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Keesokan harinya,  pada tanggal 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato:  "... Belanda menyerang pada hari Minggu ... Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan sebagian pembesar lain... Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu paling bernilai bagi kita. Patah tumbuh hilang berubah.

Kepada semua Tingkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat diberantas. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak jikalau belum aci perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini kepada menghindarkan tipuan-tipuan musuh."

Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus melakukan usaha terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.

Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan paling kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Keadaan PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.

Sjafruddin membalas ejekan Belanda itu  dengan berpidato, “Kami meskipun dalam rimba, sedang tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri mencetuskan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris berlaku wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.”

Konsolidasi Administrasi Pemerintahan

Sekitar satu bulan setelah serangan militer Belanda, dapat terjalin komunikasi selang pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan kepada menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa.

Setelah bicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1949 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan bangunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut: Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan; Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda; Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India); dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan; Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan; Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat; Kyai Haji Masykur, Menteri Agama; Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan; Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan; Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum; dan Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.

PDRI juga menyempurnakan struktur organisasi  militer: Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Luhur Angkatan Perang RI; Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa; Kolonel R. Hidajat Martaatmadja; Panglima Tentara & Teritorium Sumatera; Kolonel Mohammad Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut; Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara; dan Komisaris Luhur Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.

Komisariat Jawa

Akhir tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI kepada Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sebagai berikut : Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan; Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat dan R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Perwakilan Luar Negeri

Untuk perwakilan Luar Negeri selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India; ada Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India;  dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB. Mereka  adalah tokoh-tokoh yang paling berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda menerapkan Serangan Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.

Perlawanan Bersenjatan

PDRI menyusun perlawanan di Sumatera. Perlawanan bersenjata dilaksanakan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta sebagian wilayah lain. Pada tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatera:

(1)     Aceh, termasuk Langkat dan Tanah Karo. Gubernur Militer : Tgk. Daud Beureu'eh di Beureu'eh. Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Askari;

(2)     Tapanuli dan Sumatera Timur. Gubernur Militer : dr. Ferdinand Lumban Tobing. Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang;

(3)     Riau. Gubernur Militer : R.M. Utoyo, Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Hasan Basry;

(4)     Sumatera Barat. Gubernur Militer : Mr. Sutan Mohammad Rasjid; Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim;

(5)     Sumatera Selatan. Gubernur Militer : dr. Adnan Kapau Gani. Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Maludin Simbolon. (p2k.unkris.ac.id, 13 Januari 2023)

Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda semakin terjepit. Dunia internasional mengecam serangan militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan.

Melalui Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi yang diprakarsai India, yang diikuti oleh Menteri Luar Negeri PDRI beserta perwakilan-perwakilan RI di berbagai negara, berhasil disampaikan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera menyelesaikan persoalan Indonesia-Belanda. Dewan Keamanan PBB lalu mengeluarkan resolusi yang sesuai dengan tuntutan Konferensi Asia untuk Indonesia. Belanda yang tidak langsung mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB, akhirnya karena tekanan Amerika di satu pihak, dan karena telah merasa kewalahan menghadapi serangan balik Republik di pihak lain, memprakarsai perundingan. Perundingan itu menghasilkan Pernyataan Roem Royen berhasil mengembalikan pemimpin yang ditawan ke Yogyakarta serta disepakatinya rencana Konferensi Meja Bundar (KMB). (Saputra, Tesis, 1997, lib.ui.ac.id).

PDRI sebagai penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949 yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara  disebut juga dengan Kabinet Darurat.

Sesuai dengan namanya Pemerintah Darurat, maka aktifitas pemerintahan ini juga tidak dilaksanakan pada satu tempat saja, ini adalah sebagai bagian dari menghindari kejaran Belanda yang berusaha akan menjajah kembali Indonesia pada waktu itu.

Rumah yang digunakan sebagai tempat rapat Kabinet PDRI yang berlokasi di Nagari Silantai Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung,  sampai saat ini masih terjaga dan terawat dan bahkan sudah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya Rumah PDRI-1949 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Di lokasi Rumah PDRI-1949 ini juga dibangun sebuah Monumen Sidang Kabinet Lengkap PDRI 1949 berupa tugu (PujiB-Kominfo/infopublik.sijunjung.go.id, 28 Juni 2021).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s