Langsung ke konten utama

Sjafruddin Prawiranegara


Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten pada tanggal 28 Februari 1911. Ayahnya seorang asisten wedana di Banten. Sjafruddin menempuh pendidikan di ELS di Ngawi. Setelah tamat MULO ia melanjutkan ke AMS bagian A di Bandung, kemudian melanjutkan ke RHS (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta dan menyandang gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada bulan September 1929. Dosennya antara lain Prof. Logemann dan Prof. Baron van Asbek yang menganut politik etis. Semasa kuliah Sjafruddin aktif pada organisasi kemahasiswaan Unitas Studisaorum Indonesia (USI) yang dibentuk tahun 1931. 

Setelah lulus Sjafruddin kemudian bekerja di Perserikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPPRK) sebagai administratur merangkap redaktur Soeara Timoer. Lalu ia bekerja di Departeman Keuangan dan ditempatkan di  Kantor Inspeksi Pajak Kediri. Ia menikah dengan gadis asal Bandung, Tengku Halimah pada tanggal 31 Januari 1941.

ORI

Saat menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Sjahrir III ia menerapkan struktur kementrian keuangan seperti Departement van Financien pada masa kolonial. Ia juga membuat ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang menggantikan peredaran uang Jepang dan uang Belanda. ORI dikeluarkan pada tanggal 29-30 Oktober 1946 di seluruh wilayah de facto RI yakni di Jawa, Madura dan Sumatra. Pada saat yang sama NICA juga mengeluarkan uang NICA sehingga terjadi perang uang.

PDRI

Sjafruddin berjasa besar  memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Bukittinggi, 19 Desember 1948- 13 Juli 1949. Saat itu Belanda melakukan agresi militer kedua dengan menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap para pemimpin RI, termasuk Soekarno-Hatta dan separuh anggota kabinet.

Pada saat mengadakan kunjungan kerja sebagai Menteri Kemakmuran ke Sumatra pada akhir tahun 1948, ia terkejut mendengar kabar bahwa ibu kota RI telah diduduki Belanda. Sebelumnya Sukarno memberitahukan kepadanya bahwa bila karena keadan pemerintahan tidak dapat menjalankan kewajibannya, Sjafruddin diberi kuasa untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

PDRI bersifat mobil, markasnya selalu berpindah-pindah dan mengadakan hubungan dengan dunia luar. Melalui pemancar YBJ-6, telegram dapat dikirim ke Konferensi Asia di New Delhi yang menyatakan bahwa RI telah berhasil membentuk pemerintahan darurat dan memberikan kabar tentang pengangkatan Mr. A. A. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri. Konferensi Asia pada bulan Januari 1949 mendesak agar Belanda menarik pasukannya dari daerah Karesidenan Yogyakarta dan mengembalikan pemimpin tertinggi RI yang ditawan. Pihak sekutu pun mendesak hal demikian.

Akhirnya  Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen diadakan pada tanggal 7 Mei 1949.  Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, berlangsung sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun  1949-1950.

Gunting Sjafruddin

Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang senilai Rp 5 ke atas. Kebijaksanaan moneter kontroversial itu dikenal dengan julukan Gunting Sjafruddin. Kebijakan itu mengatur  bahwa uang merah atau uang NICA dan uang De Javasche Bank pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Sejak 22 Maret hingga 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi.Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku sebagai alat pembayaran, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara dengan nilai cuma setengah dari nilai semula. Masa berlaku obligasi ini empat puluh tahun dengan bunga 3% setahun. Gunting Sjafruddin juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Dengan tidakan tersebut kondisi ekonomi menjadi lebih baik meski di bidang moneter Sjafruddin kurang berhasil.


Setelah itu, Syafruddin menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Natsir dan  sebagai Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, pada tahun 1951, menggantikan Dr. A. Houwik yang mengundurkan diri.  Setelah upaya nasionalisasi berjalan mulus, Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama pada 1953.

Pada waktu itu terjadi perdebatan antara Sjafruddin dengan  Sumitro Djojohadikusumo yang menjabat sebagai Menteri Keuangan. Topik pertama perdebatan adalah mengenai Program Benteng untuk menguatkan pribumi. Topik kedua, seberapa jauh pemerintah bisa mendorong pembangunan dengan defisit. Sjafruddin berada pada sisi yang hati-hati konservatif,  sebaliknya Sumitro berada pada sisi yang berani.

Sebagai Gubernur Bank Indonesia yang pertama, ia menyampaikan prasaran pada Musyawarah Nasional Pembangunan yang diadakan pada bulan Novermber 1957. Dalam kesempatan ini ia menentang usul para peserta yang menghendaki agar pemerintah mengambil tindakan penyitaan perusahaan-perusahaan dari pihak Belanda ke pihak Republilk Indonesia karena ia melihat akan berakibat buruk bagi perkembangan perekonomian Indonesia.

PRRI

Sjafruddin terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai protes pada pemerintahan Sukarno yang dianggap menyimpang dari konstitusi. Sjafruddin menjabat sebagai Perdana Menteri PRRI merangkap Menteri Keuangan. Ketika itu Sjafruddin, Burhanuddin Harahap, Muhammad Natsir dan lain lain menyingkir dari Jakarta ke Sumatra. Kemudian bersama-sama tokoh-tokoh militer pembangkang seperti Letkol. Achmad Husein dan Kolonel Simbolon mereka memproklamasikan PRRI pada tanggal 15 Februari 1958 dengan program menghapuskan Kabinet Djuanda dan konsep demokrasi terpimpin dari Sukarno.

Pemerintah pusat menganggap gerakan ini sebagai pemberontakan dan mengirim tentara untuk memadamkannya.  Pada Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir. Pemerintah pusat memberikan amnesti dan abolisi kepada semua orang yang terlibat melalui Keputusan Presiden RI No.449/1961.

Sjafruddin mengalami masa-masa sulit  pada awal 1960-an. Ketika itu ia berada dalam tahanan Rumah Tahanan Militer (RTM) sehingga seluruh anggota keluarga sempat menumpang ke rumah kerabat dan sahabat.  Keluarga Sjafruddin akhirnya mendapat pertolongan pasokan bahan pokok dan tempat tinggal dari Leimena dan Soebandrio. Pada akhirnya Presiden Sukarno sendiri juga turut membantu memberikan dua mobil Mazda untuk keluarga itu.

SDM

Sjafruddin memiliki perhatian pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Pada 1966 Sjafruddin menggoreskan pemikirannya secar jernih dalam sebuah tulisan Membangun Kembali Ekonomi Indonesia. Di situlah Sjafruddin menegaskan pentingnya mengutamakan kualitas sumberdaya manusia. Manusia yang harus didahulukan bukan kapital.

Riba

Sjafruddin juga punya pandangan menarik mengenai riba. Dalam pemikiran Sjafruddin, riba bukanlah berarti sempit yang hanya merujuk pada bunga. Menurut pemikiran Sjarifuddin,  jika seseorang mengambil keuntungan yang berlebihan itu adalah riba. 

 Juru Dakwah

Sjafruddin menghabiskan masa tua dengan berdakwah dan aktif dalam Dewan Dakwah Islamiyah sampai akhir hayatnya, 15 Februari 1989. Namun bekas tokoh Partai Masyumi ini sempat dilarang naik mimbar pada masa Orde Baru karena turut menandatangani Petisi 50 (Purwoko, ENI Vol. 13, 2004 : 379-382; wapresri.go.id ; setneg.go.id , Selasa, 01 Maret 2011).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s