Siliwangi Hijrah
Ricklefs menyatakan bahwa Nasution memimpin 22.000 prajurit Siliwangi keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai Republik. Hal ini menimbulkan akibat-akibat penting di wilayah yang mereka tinggalkan maupun di wilayah-wilayah yang mereka masuki (Ricklefs 2005 : 457). Supeni dalam Napak Tilas Bapak-bapak Pejuang Menuju Indonesia Merdeka, 2001 : 274, menyebut angka 35.000.
Di Jawa Barat masih terdapat gerilyawan Islam militan yang dipimpin S.M. Kartosoewirjo. Ketika Divisi Siliwangi bergerak mundur, Kartosoewirjo merasa bahwa Jawa Barat telah ditinggalkan dan diserahkan kepada Belanda oleh pihak Republik. Reaksinya adalah melancarkan pemberontakan daerah pertama terhadap Republik Indonesia sambil melanjutkan perjuangan melawan Belanda di Jawa Barat.
Pada bulan Mei 1948, Kartosoewirjo memproklamasikan dirinya sebagai imam (pemimpin) negara baru yang dinamakan Negara Islam Indonesia, yang lebih lazim disebut Darul Islam (Ricklefs, 2005 :457).
Darul Islam
Pada kongres PSII ke-24 di Surabaya pada bulan Agustus 1938 ditegaskan politik partai dengan asas hijrah, yakni membangun umat hijrah yang bebas dari kuman-kuman penjajah. Penekanan partai pada politik hijrah ini menyebabkan PSII mengalami perpecahan yang kedua kalinya. Sejumlah anggota dan cabang PSII menolak politik hijrah dan kemudian mendirikan Partai Islam Indonesia (PII).
Perpecahan di tubuh PSII terjadi lagi setelah kongres ke-25 di Palembang tahun 1940. S.M. Kartosoewirjo dikeluarkan dari partai karena politik hijrah yang selalu dipropagandakannya sudah tidak tepat lagi dibenarkan oleh partai. Kartosoewirjo yang mendapat dukungan dari beberapa cabang PSII kemudian mendirikan Komite Pembelaan Kebenaran PSII guna melanjutkan politik hijrahnya.
Pada tanggal 24 Maret 1940, di Malangbong, Garut, Komite Pembelaan Kebenaran PSSI menegaskan tujuannya mewujudkan masyarakat hijrah dengan pemimpin-pemimpin yang ahli dan pembela-pembela Islam yang tangguh. Mereka kemudian mendirikan Institut Suffah untuk menyelenggarakan pendidikan modern dan pendidikan kemiliteran. Kemudian terbentuklah organisasi bersenjata Darul Islam.
Pada bulan Februari 1948 diadakan konferensi di Cisayom, Jawa Barat, mereka memutuskan untuk menjadikan ideologi Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, membubarkan Masyumi Jawa Barat, dan mengangkat Kartosoewirjo menjadi imam seluruh umat Islam Jawa Barat. Dalam bulan itu juga dibentuk Tentara Islam Indonesia (TII) dan Majelis Islam (MI).
Pada konferensi di Cijoho tanggal 1 Mei 1948 mereka menyusun suatu tata kenegaraan Islam. Pada konferensi tersebut dibentuk pula Dewan Imamah (Dewan Menteri) dengan S. M. Kartosoewirjo sebagai ketuanya dan Dewan Fatuz (Dewan Pertimbangan Agung), untuk mempersiapkan Qonun Asasy (UUD).
Pada tanggal 27 Agustus 1948 hasil konferensi Cijoho diresmikan. Ditegaskan pula bahwa negara yang akan didirikan adalah Negara Islam Indonesia yang berbentuk jumhuriyah (republik), di bawah pimpinan seorang imam dengan Al Quran dan Hadis sebagai hukum tertinggi (Masyhuri, 2004 : 236-237).
Pada tanggal 7 Agustus 1949, Gerakan Darul Islam memproklamasikan Negara Islam Indonesia di sebuah desa di Tasikmalaya.
Melindungi Rakyat Jawa Barat
Menurut Muhammad Dian Supyan (2016), Darul Islam (DI) merupakan gerakan separatisme yang dipelopori oleh S.M. Kartosoewirjo yang kemudian menjelma menjadi Negara Islam Indonesia (NII). Tujuan didirikannya DI/ NII adalah upaya S.M Kartosoewirjo dalam mengisi ruang kosong interregnum pemerintahan diawal kemerdekaan dengan konsep Negara Islam (Islamic State) meski menurut sebagian besar tulisan tentang S.M. Katosoewiryo, pergerakan ini dianggap sebagai sebuah pemberontakan/ makar terhadap NKRI.
Supyan melakukan penelitian kualitatif dengan objek kajian sejarah berupa gerakan sosial, yaitu sejarah nasionalisme gerakan Islam dengan menggunakan pendekatan ideologis dan sosiologis. Sebagai kajian sejarah gerakan sosial, maka penelitian Supyan menggunakan metode penelitian sejarah. Metode tersebut terdiri dari empat langkah kegiatan, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah). Lebih lanjut penelitian Supyan menggunakan pisau analisis dengan kerangka teori kolektif behavior Neil Smelser.
Hasil penelitian Supyan menunjukkan bahwa motif S.M Kartosoewirjo mendirikan Darul Islam/ Negara Islam Indonesia terbagi menjadi dua motif fundamental yakni ideologis dan politis. Secara ideologis, S.M. Kartosoewiryo menginginkan Indonesia berlandaskan pada syari’at Islam demi tercapainya keselamatan dunia akhirat. Secara politis, adanya semangat S.M. Kartosowiryo dalam membela rakyat Jawa Barat yang masih dalam kungkungan Belanda pasca proklamasi kemerdekaan. Kolaborasi keduanya menyebabkan DI/NII tidak hanya menjadi musuh Belanda namun juga menjelma menjadi gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan sah Indonesia. Meskipun dalam beberapa pandangan S.M. Kartosoewiryo dicap sebagai pemberontak, dilain sisi S.M. Kartosoewirjo menjadi tokoh Nation State dalam upayanya melindungi rakyat Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, dengan menghadirkan Negara Islam sebagai alternatif fondasi kebangsaan Negara (Abstract, Masters thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Komentar
Posting Komentar