Seruan
Resolusi jihad yang dikumandangkan PBNU dalam keadaan perang sudah
berakhir lebih sebulan silam, dinilai sebagian elit pemimpin Negara di
Jakarta sebagai mengada-ada. Bahkan sehari sesudah Resolusi Jihad
diserukan, sepanjang hari sejak pagi tanggal 24 Oktober 1945, Bung Tomo
melalui pidatonya menyampaikan pesan kepada arek-arek Surabaya agar
jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di Surabaya.
Sebagai wartawan Bung Tomo sudah mendapat informasi bahwa pasukan
Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, sehingga
tanggal 24 Oktober 1945 pagi, Bung Tomo sudah berpidato mengobarkan
semangat rakyat Surabaya, dengan isi pidato sebagai berikut:
“Kita
ekstrimis dan rakyat, sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan
manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama
kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan
mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak
diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung
dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita
miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap
makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”
“Ribuan
rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan
menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak
dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang
pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir
darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi!
Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu
Akbar!”
Suasana
panas yang membakar semangat penduduk Kota Surabaya akibat pengaruh
Resolusi Jihad dan pidato yang disampaikan Bung Tomo, makin memuncak
sewaktu kapal perang Inggris HMS Wavenley menurunkan pasukan di dermaga
Modderlust Surabaya pada 25 Oktober 1945. Karena tokoh-tokoh Surabaya
menolak penurunan pasukan Inggris ke Surabaya, maka pihak Inggris
mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk
menemui Gubernur. Bersandarnya HMS Wavenley sendiri pada dasarnya
merupakan hasil perundingan yang sulit, karena sehari sebelumnya,
tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust
antara utusan Sekutu yang diwakili Colonel Carwood dan pihak TKRL yang
diwakili Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi
jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak.
Pidato
Bung Tomo dan jalan buntu perundingan sekutu dengan TKRL masih ditambah
dengan pidato Drg Moestopo pada malam hari pukul 20.00, yang
menyatakan diri sebagai Menhan RI yang tegas-tegas menolak Sekutu untuk
mendaratkan pasukan dan bahkan menyebut Sekutu sebagai NICA. Sekutu yang
dari laporan intelijennya mengetahui bahwa Drg Moestopo adalah seorang
dokter gigi yang aktif sebagai perwira PETA, membalas pidato lewat
pemancar radio dari kapal yang isinya,”We don’t take any order from
anybody, we don’t have the command of a dental surgeon!” Jawaban Inggris
yang bernada humor itu, menunjuk bahwa pihak Inggris tidak sedikit pun
memiliki bayangan bahwa mereka akan menghadapi pertempuran di Surabaya.
Bahkan pidato Bung Tomo, ketegasan TKRL menolak permintaan Sekutu untuk
mendaratkan pasukan, tindakan Drg Moestopo yang juga melarang Sekutu
mendaratkan pasukan, dianggap aneh oleh hampir seluruh pemimpin di
Jakarta, sebab tindakan itu dinilai tidak sesuai dengan kebijakan
pemerintah pusat di Jakarta dan potensial menyulut konflik berdarah
baru. Itu sebabnya pemerintah mengirim Mr Soedarpo, Mr. Kasman
Singodimedjo dan Mr. Sartono untuk memberitahu Drg Moestopo agar
bersedia membiarkan Sekutu menjalankan tugasnya. Namun Drg Moestopo
tidak sedikit pun mengikuti petunjuk dari para pejabat tinggi Negara
itu. Sikap tegas Drg Moestopo baru melunak setelah pagi hari tanggal 25
Oktober 1945 ia ditelpon langsung oleh Presiden Soekarno dan diperintah
agar tidak menembak Sekutu. Presiden Soekarno mengingatkan bahwa sebagai
perwira mantan didikan PETA, Drg Moestopo harus patuh kepada
presidennya.
Tanggal
25 Oktober 1945 itulah HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan
mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk
menemui Gubernur. Dengan siasat mengundang jamuan minum teh sambil
berunding, Sekutu memanfaatkan kunjungan gubernur untuk melihat tawanan
di Kalisosok dengan mendaratkan pasukan secara besar-besaran. Tindakan
ini mengudang reaksi keras penduduk. Lalu diadakan perundingan antara
Drg Moestopo dengan Kolonel Pugh. Hasilnya, pasukan Sekutu berhenti pada
garis batas 800 meter dari pantai ke arah kota. Sekali pun pasukan
sekutu berada di garis batas 800 meter dari pantai ke arah kota, namun
pasukan yang diturunkan dari kapal jumlahnya sekitar 2800 personil dari
Brigade ke-349 Mahratta yang dilengkapi dengan persenjataan perang
modern.
Sementara
itu, setelah mendaratkan pasukan Brigade ke-49 Mahratta dari HMS
Wavenley, pagi hari tanggal 26 Oktober 1945 diadakan perundingan antara
pihak RI yang diwakili oleh Wakil Gubernur Soedirman, Ketua KNI Doel
Arnowo, Walikota Radjamin Nasution, dan wakil Drg Moestopo, Jenderal
Mayor Muhammad dengan pihak Sekutu yang diwakili A.W.S. Mallaby beserta
staf. Hasil perundingan, pasukan sekutu dalam menjalankan tugas
mengevakuasi tawanan Jepang dan interniran Belanda diperbolehkan
menggunakan beberapa bangunan di dalam kota. Markas Brigade ke-49
Mahratta ditetapkan di Jalan Kayoon. Namun persetujuan menggunakan
beberapa bangunan itu digunakan secara curang, di mana Sekutu justru
membangun pos-pos pertahanan yang menebar di berbagai tempat dari
kawasan pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota. Di antara
pos-pos pertahanan Sekutu yang diperkuat senapan mesin adalah yang di
Benteng Miring, gedung sekolah al-Irsyad di Ampel, gedung Internatio,
pabrik Palmboom, gedung Lindeteves, gedung Onderlingblang, jalan
Gemblongan, sekolah HBS (SMA Kompleks Wijayakusuma), Rumah Sakit Darmo,
Gubeng, Dinoyo, pabrik Colibri, gudang BAT, Wonokromo, Don Bosco, dll.
Mendapati
tindakan Sekutu membangun pos-pos pertahanan, Kolonel Jono Sewojo
mendatangi Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby dan memprotes tindakan tidak
jujur itu. Tapi dengan alasan untuk pertahanan diri dan melancarkan
tugas-tugas yang dijalankan pasukan sekutu, pos-pos pertahanan memang
penting dibuat. Kolonel Jono Sewojo yang perwira didikan PETA yang
mengetahui bahwa pembangunan pos-pos pertahanan yang tersebar itu adalah
bagian dari strategi pertahanan kota dengan tegas mengingatkan Mallaby
tentang kemungkinan pecahnya pertempuran di Surabaya dengan keberadaan
pos-pos pertahanan Sekutu itu. Ketika Mallaby bersikukuh dengan
keputusannya untuk mempertahankan keberadaan pos-pos pertahanan itu,
Kolonel Jono Sewojo dengan marah berdiri menunjuk muka Mallaby sambil
berkata,”I remind you. If you shoot me, I shoot you back!”
Ternyata
bukan hanya Kolonel Jono Sewojo selaku kepala staf TKR Jawa Timur yang
marah terhadap tindakan Sekutu yang di luar kesepakatan dengan pihak RI
telah membangun pos-pos pertahanan , arek-arek Surabaya terutama para
pemuda Islam yang terbakar seruan jihad fi sabilillah sangat marah.
Kasak-kusuk
menyebar bahwa pos-pos pertahanan yang dibangun Sekutu itu sebagai
usaha untuk penjajah Inggris untuk memperkuat kembali kekuasaan kolonial
Belanda dengan menggunakan bantuan pasukan Sekutu. Tanpa ada yang
mengomando, sejak sore hari ratusan santri keluar pondok bersama
pemuda-pemuda kampung di kawasan utara Surabaya keluar ke jalanan menuju
pos-pos pertahanan Sekutu. Sekitar jam 16.00 tanggal 26 Oktober 1945,
tanpa ada yang mengomando, dengan didahului teriakan Allahu Akbar!
Allahu Akbar! Allahu Akbar! beratus-ratus santri tua dan muda beserta
pemuda-pemuda dari kampung-kampung di Surabaya utara seperti Ampel,
Sukadana, Boto Putih, Pekulen, Pegirikan, Sawah Pulo dipimpin Ahyat
Cholil, kader Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO) yang aktif di Hisbullah,
beramai-ramai menyerang pos pertahanan Sekutu di Benteng Miring di
sebelah utara gedung sekolah Al-Irsyad. Ketika iring-iringan santri dan
pemuda dari berbagai kampung itu sudah berada di lapangan sekolah
al-Irsyad yang membentang di depan gedung sekolah al-Irsyad, pasukan
Sekutu melepas tembakan. Puluhan orang tumbang dengan tubuh bersimbah
darah. Namun diselingi teriakan Allahu Akbar! yang sambung-menyambung,
beratus-ratus santri dan pemuda kampung itu terus menyerbu sambil
mengacungkan bambu runcing, clurit, keris, tombak, samurai, dan senapan
rampasan.
Seiring
berhembusnya kabar tentang gugurnya sejumlah santri dan pemuda akibat
ditembaki Sekutu, penduduk kampung beramai-ramai keluar dengan membawa
aneka macam senjata. Dalam tempo singkat, gedung sekolah Al-Irsyad yang
dijadikan markas tentara Brigade 49 Mahratta yang disebut penduduk
sebagai “Gurkha” itu dikepung ribuan penduduk. Tembak-menembak
berlangsung sampai malam hari. Santri dan pemuda yang tidak membawa
senjata membalas tembakan tentara “Gurkha” dengan lemparan batu. Di
tengah hiruk tembak-menembak di Sekolah Al-Irsyad yang terkepung,
diam-diam satu peleton pasukan Sekutu yang dipimpin Kapten Shaw dari
pangkalan Inggris di Ujung menerobos masuk ke Reineer Boulevard. Pasukan
ini adalah pasukan elit Inggris yang berusaha membebaskan Kapten
Huijer, Kapten Groom dan Mayor Finley yang ditawan TKR sejak mereka
tertangkap di Kertosono. Terjadi tembak-menembak antara pasukan Sekutu
ini dengan para pengawal tawanan.
Penduduk
kampung Surabaya yang sudah siaga perang, begitu mendengar letusan
senjata langsung berbondong-bondong ke Reineer Boulevard dan menyerang
pasukan Sekutu. Dalam waktu singkat truk dan jep yang dinaiki pasukan
Sekutu dibakar. Kapten Shaw dan prajuritnya lari tunggang-langgang dan
dengan sisa kendaraannya pergi menuju pelabuhan. Beberapa orang di
antara prajurit Sekutu tertembak tetapi berhasil diangkut ke kapal yang
bersandar di pelabuhan. Arek-arek Surabaya yang rata-rata memiliki
keahlian di bidang teknik dan perbengkelan mengetahui bahwa pertempuran
melawan Sekutu tidak akan terhindarkan meski pihak penduduk kalah
persenjataan. Itu sebabnya, sejak sore hari arek-arek Surabaya sudah
bergerak sendiri dengan inisiatif sendiri-sendiri untuk memadamkan
listrik kota, memutus jaringan telepon, menutup saluran air ledeng, dan
menghentikan pasokan gas dalam kota.
Mayor
Jenderal Soengkono panglima pertempuran Surabaya mencatat bahwa
tanggal 26 Oktober 1945 itu ditandai pecahnya pertempuran awal di
Surabaya utara, yang membuat seluruh kota tenggelam dalam kegelapan
malam yang tanpa lampu, tanpa air minum, tanpa telepon, tanpa gas,
bahkan tanpa pasokan makanan karena seluruh jalanan kota sudah tertutup
barikade-barikade yang dibikin penduduk. Pagi hari tanggal 27 Oktober
1945 kota Surabaya gemetar diguncang kemarahan, sebab di tengah
beredarnya kabar gugurnya santri dan pemuda yang mengepung pos
pertahanan Sekutu di Sekolah Al-Irsyad beredar pula kabar bahwa Sekutu
diam-diam mendaratkan lebih banyak pasukan ke Surabaya untuk memperkuat
pos-pos pertahanannya. Penyerangan penduduk kampung terhasdap pos
pertahanan di sekolah Al-Irsyad ditangkap pihak Sekutu sebagai tengara
bakal pecahnya pertempuran dalam skala yang lebih besar. Itu sebabnya
bala bantuan didatangkan untuk memperkuat pos-pos pertahanan yang
tersebar di sejumlah kawasan strategis kota Surabaya. Dan warga kampung
mulai memasang barikade-barikade di gerbang masuk kampungnya dengan
kayu, bambu, drum, meja, kursi, ban, gedek, kawat, dll. Kira-kira jam
09.00 di atas langit Surabaya melayang-layang pesawat militer jenis
Dakota dari Jakarta menebarkan ribuan selebaran yang ditanda-tangani
Mayor Jenderal D.C.Hawthorn yang berisi perintah kepada penduduk
Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan Jepang
kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada
orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat.
Ancaman
Sekutu yang ditanda-tangani Mayor Jenderal D.G.Hawthorn itu disambut
caci-maki dan tantangan oleh penduduk Surabaya. Suasana makin tegang. Di
tengah ketegangan itu, tiba-tiba muncul kelompok-kelompok pasukan
Brigade 49 Mahratta bergerak ke jalan raya utama Surabaya, melewati
kantor Gubernuran sambil menempelkan selebaran-selebaran sepanjang jalan
yang mereka lewati. Tindakan pasukan Inggris-India ini menyulut amarah
para pemimpin dan seluruh penduduk Surabaya. Kira-kira jam 12.00 pecah
pertempuran di depan Rumah Sakit Darmo yang dalam sekejap diikuti
pertempuran di semua pos pertahanan Inggris di Keputran, Kayoon, Gubeng,
Simpang, Ketabang, Kompleks HBS, Gemblongan, Dinoyo, Wonokromo,
Palmboom, Lindeteves, Onderlingbelang, Benteng Miring. Sebagaimana
pertempuran sehari sebelumnya, perang “keroyokan” itu murni perkelahian
massal yang disebut tawuran, di mana tidak ada pemimpin dan tidak ada
taktik maupun strategi apa pun yang ditunjukkan penduduk. Tentara
Inggris Brigade ke-49 Mahratta yang sudah berpengalaman di medan tempur
Burma dan bahkan el-Alamein di Mesir itu, kebingungan menghadapi
pertempuran dengan model tawuran dari kawanan orang-orang nekad yang
tidak tahu mati.
Tanggal
28 Oktober 1945, TKR sebagai aparat pertahanan dan keamanan Negara yang
harus tunduk dan patuh pada perintah pemerintah pusat di Jakarta,
ternyata terprovokasi perlawanan arek-arek Surabaya, sehingga tanpa
sadar ikut bertempur mengepung dan memburu tentara Inggris. Oleh karena
sebagian besar TKR adalah didikan PETA, Heiho dan Hisbullah, jumlah
tentara Inggris yang tewas pun dengan cepat bertambah. Brigadir Jenderal
A.W.S.Mallaby yang menyaksikan pasukannya akan habis, buru-buru
menghubungi atasannya: Jenderal Christison di Singapura. Mallaby minta
agar dilakukan gencatan senjata, penghentian tembak-menembak.
Tanggal
29 Oktober 1945, presiden Soekarno dan wakil presiden Moch. Hatta serta
Menhan Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Tanggal 30 Oktober 1945,
gencatan senjata dicapai tetapi butuh sosialisasi karena komunikasi
terbatas dengan akibat masih taksi tembak-menembak di berbagai tempat di
Surabaya. Malangnya, sore hari dalam usaha sosialisasi gencatan
senjata, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas digranat. Inggris marah
sekali mendapati jenderalnya tewas justru saat perang sudah selesai.
Lebih marah lagi, yang menghancurkan pasukan Inggris beserta jenderalnya
itu adalah inlander bodoh yang lemah dan terjajah ratusan tahun oleh
Belanda.
Mayor
Jenderal E.C.Mansergh, pada 31 Oktober 1945 melontarkan ultimatum agar
rakyat Surabaya menyerahkan pembunuh Mallaby dan semua orang-orang liar
yang bersenjata menyerahkan senjata kepada pasukan Inggris. Jika
ultimatum tidak dijalankan, maka pada 10 November 1945 jam 10.00 Kota
Surabaya akan dibombardir dari darat, laut dan udara. Mayor Jenderal
E.C.Mansergh menghitung, kota Surabaya akan jatuh dan takluk dalam tempo
tiga hari.
Pertempuran
besar di Surabaya pada 10 November 1945 sangat mengerikan jauh di luar
yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia. Dugaan Mayor Jenderal
E.C.Mansergh bahwa kota Surabaya bakal jatuh dalam tiga hari meleset,
karena arek-arek Surabaya baru mundur ke luar kota setelah bertempur 100
hari.
Pertempuran
Surabaya pada dasarnya adalah kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat
Empat Hari pada 26 – 27 – 28 – 29 Oktober 1945, yaitu sebuah Perang Kota
antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal
Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang
berlangsung sangat brutal dan ganas, dengan kesudahan sekitar 2300 orang
-- 2000 orang di antaranya pasukan Brigade ke-49 termasuk Brigadir
Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945 –
tewas dalam pertempuran man to man itu. Perang Rakyat Empat hari pada
26-27-28-29 Oktober 1945 itu terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad
PBNU yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945 (Agus Sunyoto,
22 Oktober 2016).
Komentar
Posting Komentar