Langsung ke konten utama

Proklamasi NII

 

Pada tanggal 24 Maret 1940, di Malangbong, Garut,  Komite Pembelaan Kebenaran PSSI  menegaskan tujuannya mewujudkan masyarakat hijrah dengan pemimpin-pemimpin yang ahli dan pembela-pembela Islam yang tangguh. Mereka kemudian mendirikan Institut Suffah untuk menyelenggarakan pendidikan modern dan pendidikan kemiliteran. Kemudian terbentuklah organisasi bersenjata Darul Islam.

Pada bulan Februari 1948 diadakan konferensi di Cisayom,  Jawa Barat, mereka memutuskan untuk menjadikan ideologi Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, membubarkan Masyumi Jawa Barat, dan mengangkat Kartosoewirjo menjadi imam seluruh umat Islam Jawa Barat. Dalam bulan itu juga dibentuk Tentara Islam Indonesia (TII)  dan Majelis Islam (MI).

Pada konferensi di Cijoho tanggal 1 Mei 1948 mereka menyusun suatu tata kenegaraan Islam.  Pada konferensi tersebut dibentuk pula Dewan Imamah  (Dewan Menteri) dengan S. M. Kartosoewirjo sebagai ketuanya dan Dewan Fatuz (Dewan Pertimbangan Agung), untuk mempersiapkan Qonun Asasy (UUD).

Pada tanggal 27 Agustus 1948 hasil konferensi Cijoho diresmikan. Ditegaskan pula bahwa negara yang akan didirikan adalah Negara Islam Indonesia yang berbentuk jumhuriyah (republik), di bawah pimpinan seorang imam dengan Al Quran dan Hadis sebagai hukum tertinggi (Masyhuri, 2004 : 236-237).

Menurut Ricklefs, pada  bulan Mei 1948, Kartosoewirjo memproklamasikan dirinya sebagai imam (pemimpin) negara baru yang dinamakan Negara Islam Indonesia, yang lebih lazim disebut Darul Islam  ( 2005 :457).

Pada tanggal 7 Agustus 1949, Gerakan Darul Islam memproklamasikan Negara Islam Indonesia di sebuah desa di Tasikmalaya.

Ketika prajurit  Siliwangi kembali dari Yogyakarta ke Jawa Barat, mereka mendapat perlawanan dari Darul Islam. Sejak itu mulailah pemerintah mengadakan operasi penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Gerakan ini meluas ke beberapa daerah, antara lain ke Jawa Tengah, Aceh dan Sulawesi Selatan

Pada tahun 1960, Kodam Siliwangi mulai melancarkan operasi penghancuran secara intensif. Dengan bantuan rakyat dalam Operasi Pagar Betis pada tahun 1962, gerombolan pemberontak akhirnya dapat dihancurkan dan Kartosoewirjo ditangkap, diadili dan dipidana mati (Sudiyono,  2004 : 66-67).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...