Langsung ke konten utama

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i.
Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia.
Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Muslimin Indonesia sebagai wadah kerjasama partai politik dan organisasi Islam.
Dalam Pemilu tahun 1955 NU muncul sebagai partai politik terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada masa Orde Baru, NU bersama partai politik Islam lainnya seperti PSII Parmusi dan Perti, bergabung menjadi satu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian sejak tahun 1984 NU menyatakan diri kembali ke Khittah 1926, melepaskan diri dari kegiatan politik dan menjadi organisasi sosial keagamaan (Effendi, ENI Vol. 11, 2004:10).
Kepengurusan NU terdiri atas Mustasyar yang berfungsi sebagai Badan Penasihat, Syuriah yang berfungsi sebagai Pimpinan Tertinggi, dan Tanfidziyah yang berfungsi sebagai Pelaksana Harian. Selain kepengurusan, NU juga dilengkapi dengan berbagai lajnah, lembaga dan badan otonom.
Lajnah dalam NU : (1) Lajnah Falakiyah yang mengurus masalah hisab dan ru'yah; (2) Lajnah Ta'lif wan Nasyr yang mengurus masalah penulisan, penerjemahan dan penerbitan; (3) Lajnah Kajian dan Pengembangan SDM yang melakukan kajian, penelitian dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas anggota NU; (4) Lajnah Waqfiyah yang menghimpun mengurus dan mengelola tanah dan bangunan yang diwaqafkan kepada NU; (5) Lajnah Penyuluhan dan Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak yang memerlukan; (6) Lajnah Zakat Infaq dan Sedekah yang menghimpun mengelola dan mentasharrufkan zakat infaq dan sedekah ; (7) Lajnah Bahtsul Masail Diniyah yang menghimpun membahas dan memecahkan berbagai masalah mauquf (yang tertunda) dan waqiah (yang terjadi) agar mendapat kepastian hukum.
Lembaga-lembaga NU : (1) Lembaga Dakwah melaksanakan penyiaran agama; (2) Lembaga Pendidikan Ma'arif melaksanakan pendidikan dan pengajaran; (3) Lembaga Sosial Mabarrot melaksanakan kegiatan sosial dan kesehatan; (4) Lembaga Perekonomian mengembangkan ekonomi anggota organisasi; (5) Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian melakukan pengembangan pertanian peternakan dan perikanan; (6) Lembaga Kemaslahatan Keluarga melakukan kegiatan di bidang kemaslahatan keluarga kependudukan dan lingkungan hidup ; (7) Lembaga Misi Islam melaksanakan kegiatan pengembangan dan penyiaran Islam di daerah khusus; (8) Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia melaksanakan pengembangan kesenian dan kebudayaan ; (9) Rabithah Ma'ahid al-Islamiyah melaksanakan pengembangan pondok pesantren; (10) Haiah Ta'miril Masjid melaksanakan pengembangan pondok pesantren; (11) Lembaga Pencak Silat Pagar Nusa melakukan pengembangan olah raga bela diri dan pencak silat ; (12) Ikatan Seni Hadrah Indonesia melakukan kegiatan seni hadrah.
Badan Otonom NU : (2) Muslimat NU bagi kaum ibu; (2) Fatayat NU bagi remaja pemudi ; (3) Gerakan Pemuda Ansor bagi para pemuda; (4) Ikatatan Putra Nahdatul Ulama bagi para pelajar putra ; (5) Ikatan Putri Nahdatul Ulama bagi para pelajar putri; (6) Jam'iyatul Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah Al-Nahdliyah bagi para penganut tarikat; (7) Jam'iyatul Qurra wal Huffaz bagi para peminat seni baca dan menghafal al-Quran; (8) Persatuan Guru Nahdatul Ulama bagi para guru ; (9) Ikatan Sarjana Islam Indonesia bagi para sarjana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...