Langsung ke konten utama

Pangeran Aria Husein Djajadiningrat

Husein Djajadiningrat (1886-1960).
Pangeran Aria Husein Djajadiningrat lahir tahun 1886 di Serang, Banten. Ia dididik dalam lingkungan orang-orang yang taat beragama Islam. Ayahnya seorang Bupati yang berpandangan maju dan menyekolahkan putra-putranya pada sekolah yang berpendidikan Barat. Setamat HBS pada tahun 1899 ia meneruskan pendidikan ke Belanda atas anjuran Snouck Hurgronye. Ia mengikuti kursus bahasa Latin dan Yunani Kuno tahun 1904-1905 dan diterima pada Universitas Kerajaan di Leiden. Ia lulus pada tahun 1910 dan menjadi Doktor pertama dari Indonesia dengan disertasinya yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten.
Ketika Universitas Leiden mengadakan sayembara mengarang tentang sejarah Kesultanan Aceh ia melakukan penelitian atas naskah-naskah Melayu-Indonesia dan memenangkan sayembara itu dengan mendapat medali emas. Pada Mei 1914 sampai April 1915 ia berada di Aceh untuk mempelajari Bahasa Aceh dan membuat kamus Aceh dua jilid berjudul Atjeh-Nederlandsche Woordenboek yang terbit tahun 1934 yang merupakan kamus Atjeh terlengkap hingga saat ini. Karyanya itu membuat kagum gurunya dan menyamai gurunya dalam lapangan yang sama, Snouck Hurgronye.
Pada tahun 1919 Husein mendirikan Java Instituut dan menjadi redaktur jurnal triwulan Jawa bersama Kats, Koperberg, Purbacaraka dan Teiler.
Husein juga merupakan guru besar pribumi pertama di Rechtshoogeschool te Batavia (sekarang FHUI) dan memberikan kuliah tentang Hukum Islam, Bahasa Jawa, Melayu dan Sunda dari tahun 1924-1935. Di tahun 1935 ia diangkat menjadi anggota Dewan Hindia dan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah. Di zaman Jepang ia menjadi Kepala Departemen Urusan Agama dan kemudian menjadi anggota Tjuo Sangiin Pusat. Di tahun 1951, ia diangkat menjadi guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selain itu pada tahun 1957 ia menjadi Pemimpin Umum Lembaga Bahasa dan Budaya merangkap sebagai Ketua Komisi Istilah.
Beberapa karyanya adalah De Magische Achtergrond van de Maleische Pantoen (pidato ilmiah), De Mohammefaansche Wet en het Geestesleven der Indonesische Mohammedanen (pidato ilmiah), Apa Artinya Islam (pidato ilmiah) dan Islam in Indonesia (dalam Islam The Straight Path).
Oleh karena kiprahnya dan sebagai pelopor tradisi keilmuan, Universiteit Leiden mendirikan patung Prof. Hoesein Djajadiningrat (karya Aart Schonk), yang berlokasi di Academiegebouw Universiteit Leiden, Belanda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...