Langsung ke konten utama

K.H. Mansur

Sewaktu Kongres Umat Islam di Mekah membahas masalah khilafah, H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Mas Mansur datang mewakili umat Islam Pulau Jawa. Biografi singkat Pak Tjokro sudah saya sampaikan pada tulisan terdahulu. Kini saya ingin menyampaikan biografi Kiai Haji Mas Mansur.
Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946) adalah salah seorang pahlawan nasional. Pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dari tahun 1937 hingga 1943. Saat pendudukan Jepang terdapat "Empat Serangkai" sebagai pucuk pimpinan rakyat : Ir Sukarno, Drs Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH Mas Mansur.
Mas Mansur dilahirkan di Kampung Sawahan, Surabaya. Ia berasal dari keluarga pesantren Sidoresno. Setelah belajar pada ayahnya dan seorang kiai di Pesantren Kademangan Madura, pada usia 12 tahun ia meneruskan belajar ke Mekah. Walau tidak disetujui sang ayah ia belajar di Universitas Al Azhar Kairo. Di Mesir ia membaca banyak sastra Barat dan mengunjungi beberapa pesantren.
Atas permintaan ayahnya, menjelang Perang Dunia I ia pulang ke tanah air pada tahun 1915 namun tidak langsung ke Surabaya. Ia justru ke Yogyakarta mengunjungi KH Ahmad Dahlan. Pada tahun 1915 ia menjadi anggota Sarekat Islam. 
Ia pun menerbitkan majalah Le Djinem, Journal Etude dan Propriteur dalam bahasa Jawa namun berhuruf Arab.
Pada 1921 Mas Mansur menjadi anggota Muhammadiyah, menjadi ketua cabang Surabaya dan Ketua Umum Muhammadiyah pada tahun 1937 sehingga menjadi orang pertama non Jogja yang menjadi Ketua Umum Muhammadiyah.
Pada tahun 1926 ia mengetuai MAIHS (Mu'tamar al-Alam al-Islam Far'ul Hindisy-Syaqiyah) dengan H. Agus Salim sebagai sekretarisnya. Ia pun
mewakili Jawa dalam Muktamar Alam Islami sedunia di Mekah bersama H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Sujak.
Pada tahun 1937 Mas Mansur memprakarsai pendirian Majelis Islam Tertinggi yang kemudian menjadi Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) lalu menjadi Masyumi pada tahun 1943.
Karena pengaruhnya di kalangan pemuka agama, Bung Karno mendesak Mansur menjadi bagian "Empat Serangkai" di masa pendudukan Jepang, sehingga ia pun pindah ke Jakarta. Namun Mansur merasa tertekan dengan tindakan dan sikap hidup orang Jepang yang dinilainya sangat bertentangan dengan kaidah agama Islam sehingga jasmani dan rohaninya terganggu, maka ia pun terpaksa dipulangkan ke Surabaya. Itulah sebabnya Mansur tidak berada di antara tokoh pejuang kemerdekaan pada saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Ia akhirnya meninggal dalam keadaan kesepian pada tahun 1946. Panglima Besar Sudirman sebagai Bapak Keluarga Tentara hadir di Surabaya menyampaikan bela sungkawanya (Soebagijo I.N., ENI vol. 10, 2002:148).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...