Langsung ke konten utama

Imperium Abbasiyah


Imperium Abbasiyah muncul menggantikan Umayyah lewat revolusi. Meskipun sama-sama menganut monarkhi, terdapat perbedaan menonjol di antara keduanya, demikian menurut Din Syamsuddin dan Sudarnoto.
Pertama, Dinasti Abbasiyah menghapuskan ekslusivisme elite Arab, terutama dalam praktik kepemimpinan sosial politik. Imperium ini cenderung mengakodasi unsur Non-Arab (terutama Persia) dalam elite politik. Karena itu ada pendapat yang menyatakan bahwa telah terjadi transformasi penting dari kerajaan (kingdom) Arab ke satu bentuk sistem kerajaan yang relatif lebih Islami (Islamic Empire).
Kedua, karena inklusivisme itulah Abbasiyah berhasil membangun sebuah tradisi Islam dan menghadirkan berbagai elemen kultural yang mampu menciptakan sintesa sosio-kultural yang dinamis. Struktur hukum Islam terbentuk, tradisi filsafat Islam berkembang pesat, dan tradisi Nabi SAW (sunah) hidup subur. Inklusivisme itu menciptakan suatu situasi di mana khalifah tidak lagi menjadi satu-satunya faktor pengikat loyalitas masyarakat. Ada kekuatan lain seperti lembaga ulama dan cendikiawan/ilmuwan/filsuf yang kemudian menjadi pusat perhatian, keterikatan dan loyalitas masyarakat.
Terbaginya loyalitas masyarakat berpengaruh dalam mengembangkan satu kebudayaan baru yang diperkuat oleh berbagai elemen pemikiran yang lebih terbuka, tetapi pada saat yang sama menjadi salah satu faktor melemahnya kekuasaan politik khalifah.
Struktur komunitas muslim era Abbasiyah mulai terdefinisikan secara lebih jelas kepada pola Islam Suni -satu bentuk komunitas yang ditegakkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya dan kemudian dilanjutkan oleh khalifah yang empat. Bagi Muslim Suni, komunitas itulah model yang paling ideal, dan pada perkembangan selanjutnya model inilah yang paling diterima oleh mayoritas muslim.
Menurut Syamsuddin, model Muslim Suni ternyata tidak bisa sepenuhnya menerima Syiah maupun Khawarij. Tidak sedikit kalangan Suni yang menganggap keduanya telah menyimpang dari Islam dan ini menimbulkan konflik berkepanjangan. Konflik dengan Syiah sudah mencapai situasi yang kompleks. Oleh karena itu, doktrin agama-politik Suni (khilāfah) secara diametral menjadi sangat berbeda dengan doktrin agama-politik Syiah (imāmah). Masing-masing berusaha mempertahankan dan mewujudkannya dalam realitas. Rivalitas di antara keduanya terlihat dari fenomena munculnya dinasti-dinasti Syiah pasca Abbasiyah dan runtuhnya dinasti-dinasti Sunni. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa corak politik, kekuasaan, dan pemerintahan Islam sepanjang sejarahnya banyak didominasi oleh dua arus utama, yaitu Suni dan Syiah (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2003: 4-5).
Keutuhan kekuasaan Abbasiyah terancam oleh beberapa masalah yaitu :
Pertama, institusi birokrasi tidak cukup mampu mengantisipasi perkembangan dan keadaan baru. Kedua, tuntutan untuk memperkokoh struktur birokrasi imperium di satu sisi berhadapan dengan penerapan pola egaliter berdasarkan prinsip-prinsipkeislaman di sisi yang lain, mengganggu keutuhan pemerintahan. Ketiga, akibatnya kekuasaan khalifah semakin lemah dan membuka peluang intervensi dari luar. Disintegrasi politik tidak bisa dihindarkan. Lahirlah berbagai dinasti kecil (duwā'ilāt) di berbagai wilayah seperti Buwaihi, Fatimiah, Seljuk, dan dinasti-dinasti Badui (Hamdani, Qaramitah, Mazyadi dan lain lain).
Pada saat wilayah umat Islam makin meluas, Dinasti Abbasiyah runtuh. Terjadilah pertentangan antara dinasti di berbagai wilayah yang mempertahankan dan mengembangkan wilayahnya masing-masing. Situasi ini terus berjalan sampai muncul dan runtuhnya tiga kerajaan besar Islam, yaitu Usmani di Turki, Safawi di Persia (Iran) dan Mogul di India.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s