Langsung ke konten utama

Santri Abangan Priyayi


Sejak lahirnya Budi Utomo, muncul pula suatu kepemimpiman organisasi agama yang membuat Islam di Indonesia memasuki periode pembaharuan yang paling penting dalam sejarahnya.
Belakangan penggolongan santri-abangan-priyayi dilakukan oleh Geertz setelah melakukan penelitian di Pare Kediri dan kemudian menuliskannya dalam buku The Religion of Java.
Santri dinisbahkan kepada mereka yang menjalankan ritual agama Islam (arkanul Islam) secara ketat seperti shalat puasa zakat haji dan ibadah lainnya.
Abangan merupakan kelompok masyarakat yang beragama Islam formal dan nominal yang tidak terlalu ketat dalam menjalankan ibadah.
Priyayi merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari kelompok bangsawan maupun mereka yang berada dalam pemerintahan.
Penggolongan ini merupakan simplifikasi dari kondisi sosiologis rakya Indonesia yang jika dikaitkan dengan politik memang memiliki korelasi. Jika penggolongan dilakukan secara dikotomis sebenarnya ada empat belahan yang bisa dibuat. Santri-abangan, priyayi-cacah. Nampaknya kaum cacah ini digeneralisasikan sebagai abangan oleh Geertz. Sementara Bung Karno lebih menyederhanakan lagi menjadi Marhaenis dan Marhaen. Marhaen bisa cacah dan abangan sekaligus. Marhaenis bisa priyayi maupun santri yang menjadi penggerak perubahan.
Kondisi sosio-politik ini kemudian diperluas lagi menjadi beberapa aliran politik berdasarkan keterpengaruhan : Hindu-Buda-Jawa; Islam modernis, Islam konservatif; Barat : sosialisme, komunisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...