Langsung ke konten utama

Sistem Khilafah

Pada tahun 1924 Turki di bawah Kemal Attaturk, menghapuskan jabatan khalifah. Dengan adanya kekosongan kekalifahan tersebut, Raja Faruq dari Mesir dan Raja Ibn Saud dari Arab Saudi bermaksud menyelenggarakan suatu konferensi Islam internasional guna membahas masalah kekhalifahan tersebut. Kaum muslim Indonesia membentuk komite-komite yang akan menghadiri dua konferensi tersebut.
Berikut ini penjelasan mengenai Sistem Khilafah.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kondisi yang dihadapi oleh umat Islam makin kompleks, termasuk menyangkut kepemimpinan politik masyarakat Islam, yang lazim disebut khilāfah. Secara etimologis, kata khilāfah berarti perwakilan, penggantian. Dalam sejarah, khilafah dikenal sebagai institusi politik Islam pengganti atau penerus fungsi Rasulullah SAW sebagai pembuat syarak dalam urusan agama dan politik. Ibn Khaldun mengatakan bahwa sinonim khilāfah adalah imāmah, yang berkaitan dengan penggantian fungsi Rasulullah SAW oleh seseorang untuk memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia (harāsat ad-din wa siyāsah ad-dunyā). Dengan kata lain, sebagaimana khilāfah, imamah adalah kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan agama dan dunia.
Kata lain yang terkait dengan khilāfah adalah khalīfah yang berarti wakil, pengganti, mandataris atau deputi. Khalifah ialah seseorang yang menggantikan atau melanjutkan kedudukan orang sebelumnya, atau seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain untuk melaksanakan fungsi-fungsi khilāfah.
Secara historis, istilah khalifah dan khilafah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar as-Siddiq sebagai pemimpin umat yang menggantikan atau melanjutkan kepemimpinan Nabi SAW sehari setelah Nabi SAW wafat. Setelah Abu Bakar meninggal, secara berturut-turut terpilih Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka berempat dikenal sebagai al-Khulafā' ar-Rasyidūn atau para khalifah yang terpercaya atau yang mendapat petunjuk (dari Allah SWT). Sebutan ini berkaitan dengan kepemimpinan atau kapasitas mereka sebagai kepala negara dan pemimpin negara.
"Pemerintahan empat khalifah tersebut merupakan khilafah yang sejati..." Setelah kepemimpinan empat khalifah berakhir, model kepemimpinan khilafah selanjutnya ialah dinasti atau kerajaan yang mengikuti tradisi pengangkatan raja-raja secara turun temurun. Hal itu bisa dilihat dalam praktik yang diterapkan :
(1) Dinasti Umayyah di Damaskus dengan 14 khalifah.
(2) Dinasti Abbasiyah di Baghdad (740-1258) dengan 37 khalifah.
(3) Dinasti Umayyah di Spanyol (756-1031) dengan 18 khalifah.
(4) Dinasti Fatimiah di Mesir (909-1171) dengan 14 khalifah.
(5) Dinasti Usmani di Istanbul (1299-1924) dengan 37 khalifah.
(6) Dinasti Safawi di Iran (1501-1722) dengan 9 syah.
(7) Dinasti Mogul di India (1526-1858).
Dalam tradisi historiografi Islam umumnya bertolak dari anggapan bahwa kekhalifahan sejati berakhir hanya sampai Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya kekhalifahan berubah menjadi kerajaan (mulk) dan bersifat turun temurun, serta banyak dari mereka tidak memperlihatkan sifat yang saleh seperti al-Khulafā' ar-Rāsyidūn. Oleh karena itu praktik pada masa Khulafā' ar-Rāsyidūn menjadi patokan dasar bagi teori-teori kekhalifahan sesudahnya.
Secara umum, praktik kepemimpinan sosial politik era Khulafā' ar-Rāsyidūn tidaklah terikat dengan suatu sistem tertentu. Polanya merupakan penggabungan kepemimpinan militer-politik dengan kharisma agama. Sistem yang diterapkan Khulafā' ar-Rāsyidūn nampak dalam soal suksesi. Mereka mengintroduksi mekanisme musyawarah (konsultasi) termasuk dalam suksesi kepemimpinan politik
(Din Syamsuddin & Sudarnoto, Khilafah, ETDI, 2003:2).
Upaya mengimplementasikan gagasan pembaruan bukan tanpa risiko. Sering terjadi perdebatan bahkan benturan keras. Misalnya antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang masing-masing mewakili pandangan tentang masyarakat Islam yang dicita-citakan. Ali merepresentasikan mazhab yang memperjuangkan suatu masyarakat ideal yang dipimpin oleh pemimpin yang memperoleh petunjuk suci dan harus merupakan keturunan atau keluarga dekat Nabi Muhammad SAW. Sementara Mu'awiyah merupakan wakil dari garis realis praktis (practical realist) yang lebih condong menawarkan gagasan menegakkan Imperium Arab (tribal state) yang didasarkan pada prinsip-prinsip realitas politik. Karena itu John Obert Voll menganggap Mu'awiyah sebagai Caesar of the Arabs ketimbang menjadi khalifah sebagaimana empat khalifah sebelumnya, senentara Ali merefleksikan kekuasaan ideal yang dipimpin oleh orang saleh dan memperoleh petunjuk suci dari Allah SWT.
Ketegangan masalah agama dan politik ini juga diramaikan oleh fenomena Aisyah (istri Nabi SAW) dan kelompok Khawarij. Aisyah muncul pada era Ali untuk menuntut dua hal. Pertama, menindak tegas pelaku pembunuhan terhadap Usman bin Affan. Kedua, pemilihan khalifah pengganti Usman, yang berarti menggugurkan kekhalifahan Ali.
Sementara kelompok Khawarij yang muncul di tengah-tengah konflik antara Ali dan Mu'awiyah menegaskan adanya kaitan kuat antara ketaatan terhadap agama dan implikasi wahyu terhadap tatanan kehidupan. Atas dasar ini, Khawarij menandaskan bahwa sesungguhnya tidak ada kekuasaan kecuali kekuasaan Allah. Menurut mereka siapapun berhak menjadi khalifah sepanjang dia tetap konsisten terhadap aturan Tuhan. Jargonnya "lā hukma illā Allāh". Kelompok ini menawarkah prinsip-prinsip egalitarianisme kepimpinan. Kelompok ini kemudian berhadapan baik dengan legitimisme Syiah dan pragmatisme Umayyah. Khawarij tidak pernah menjadi arus utama agama politik namun mereka senantiasa agresif mengkampanyekan gagasan-gagasan dasarnya dalam rangka mewujudkan perubahan masyarakat Islam. Garis Umayyahlah yang cukup kokoh dan berhasil menegakkan imperium yang sangat efektif. Keberhasilan Ummayah ini menjadi awal perjalanan yang sangat panjang sejarah imperium Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s