Langsung ke konten utama

Sunni

Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah (Aswaja).
Dipraktikkan oleh mayoritas kaum Muslim, Islam Sunni mengacu terutama pada praktik kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Istilah sunni berasal dari kata sunnah dan memiliki arti umum "praktik kebiasaan". Praktik ini, sunnah ini, terpelihara dalam hadis. Tradisi, yang terdiri atas paparan tentang ucapan atau perbuatan Nabi dan kadang-kadang restu diam-diam yang Nabi berikan atas suatu tindakan. Hadis, di samping Al-Quran, adalah salah satu sumber hukum keagamaan Sunni. Sumber lainnya adalah konsensus ulama, ijmā'. Konsep konsensus ini mencerminkan penekanan Sunni pada komunitas dan kebijaksanaan kolektifnya, dibimbing oleh Al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, Muslim Sunni menyebut diri mereka sebagai ahl al-Sunnah wa al -Jamā'ah (pengikut sunnah dan komunitas). Namun Sunni tidak monolitik. Ia terdiri atas mazhab-mazhab yang berbeda-beda. Mereka berbeda dengan Kaum Syiah (pengikut Ali) dengan menolak bahwa Nabi telah menunjuk Ali untuk menggantikannya sebagai pemimpin komunitas Islam. Sunni juga berbeda dengan sekte-sekte Islam lain yang pandangan-pandangannya dianggap bidah, menyimpang dari apa yang mereka yakini.
Sunni berkembang sebagai hasil perjuangan politik dan agama di tubuh Islam sendiri, yang telah dimulai sejak masa-masa paling awal dari sejarahnya.
Kejadian kunci pembentukan Islam Sunni adalah pemberontakan bersenjata pada tahun 656 yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman dari Bani Ummayah. Ali disambut gembira sebagai khalifah tetapi kerabat Utsman yang bernama Muawiyah menuntut agar Ali mengadili pembunuh-pembunuh Ustman dan menolak mengakui Ali sebagai khalifah. Dalam perang saudara, sebagian dari militer Ali menarik dukungan darinya, tetapi tetap menentang Muawiyah. Kelompok ini dikenal sebagai sekte Khawarij (orang yang memisahkan diri). Pada tahun 661, seorang anggota Khawarij membunuh Ali. Muawiyah pun menjadi khalifah dan memulai sebuah dinasti, Dinasti Umayyah yang berlangsung hingga tahun 750.
Muncullah polarisasi sikap politik dan keagamaan. Perdebatan timbul di seputar persoalan-persoalan seperti definisi tentang keimanan sejati, status orang yang mengaku Islam tapi melakukan dosa besar, kebebasan dan nasib. Para pemikir Sunni berupaya merumuskan teologi yang konsisten dengan Al Quran dan Sunnah.
Pada tahun 750 Dinasti Ummayah ditumbangkan oleh Dinasti Abbasiyah, anak cucu paman Nabi, Al Abbas. Selama kekhalifahan Abbasiyah (750-1258) Islam Sunni menemukan jati dirinya. Empat mazhab Sunni dimulai dari Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Al Syafii dan Ibn Hanbal menjadi terkukuhkan dengan mantap. Sejarah Sunni pada periode ini ditandai dengan reaksi kaum Muslim terhadap dua hal : (1) rasionalisme dalam teologi Mu'tazilah dan (2) perkembangan Syi'ah.
Aliran rasionalis teologi (kalam) mencapai puncaknya pada era Khalifah Al-Ma'mun yang berkuasa tahun 813-833. Ia mendukung Mu'tazilah dan berupaya menerapkan doktrinnya bahwa Al-Quran adalah makhluk. Para pembangkang dianiaya termasuk Ibn Hanbal. Sebagai reaksi terhadap Mu'tazilah, muncullah mazhab kalam Al-Asy'ari yang digunakan untuk membela keimanan tradisional Islam. Sebagian orang ada yang menganut mazhab kalam dari Al-Maturidi dan yang lain sepenuhnya menolak kalam (Esposito, EODIM Vol. 5, 2002:259-260).
Mengenai perkembangan Syi'ah akan saya sampaikan pada penulisan selanjutnya. Insya Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s