Langsung ke konten utama

Dinasti Safawi

Kerajaan ini didirikan oleh Syah Isma'il pada tahun 1501 di Tabriz, Persia (Iran), ibu kota Kerajaan Alaq Koyunlu yang ditundukkannya. Alaq Koyunlu adalah kerajaan bangsa Turki di wilayah Iran bagian barat.
Istilah Safawi dinisbahkan kepada Tarekat Safawiyah yang didirikan Syekh Safiuddin Ishaq pada tahun 1300-an di Ardabil dalam periode Dinasti Ilkhan yang didirikan Jengiz Khan antara abad ke-7 dan ke-8.
Syekh Safiuddin selain sebagai mursyid (guru tarekat), juga seorang pedagang dan politisi. Ia tidak memiliki ambisi terhadap kekuasaan politik, karena lebih tertarik menjadi pelindung kaum miskin dan kalangan lemah. Ia pun memiliki misi mengislamkan orang Mongol yang beragama Budha. Ia sendiri adalah seorang Suni. Popularitasnya tidak terbatas di Ardabil. Jaringan para murid dan wakilnya (khalifah) terbentang dari wilayah Oxus sampai Teluk Persia, dari wilayah Kaukasus sampai Mesir.
Kepemimpinan Tarekat Safawiyah dilanjutkan oleh cucu Syekh Safiuddin, Syekh Khwaja Ali dan penerusnya yang lain. Mereka dihormati oleh penguasa Jalajir dan Timurid.
Junaid, kakek Syah Ismail (pendiri Dinasti Safawi), menjadi syekh keempat dari Tarekat Safawiyah. Aliran tarekat ini berubah dari lembaga tasawuf yang cenderung pada hal-hal yang bersifat ukhrawi (keakhiratan) menjadi aliran agama yang mempunyai kecenderungan pada politik dan kekuasaan. Para pengikut tarekat dikerahkan dengan cara militer untuk melakukan gerakan menentang negara tetangga, Georgia, yang beragama Kristen, dan memanfaatkan situasi konflik antara penguasa Kara Koyunlu dan Alaq Konyulu. Dari situasi inilah dapat dilacak penyamaan antara istilah şūfī dan gāzī (tentara agama) yang terus digunakan oleh Dinasti Safawi.
Gerakan politik Syekh Junaid dianggap pencaplokan oleh penguasa Syirwanid, maka terjadilah pertempuran antara keduanya, dan Syeikh Junaid terbunuh. Pengikutnya yang fanatik menganggapnya sebagai Tuhan.
Kedudukan Syeikh Junaid digantikan oleh anaknya, Haidar yang masih bayi. Ia dibesarkan oleh pamannya, Uzun Hasan, raja Alaq Koyunlu. Pada usia 10 tahun, Haidar tinggal di Ardabil, pusat tarekat yang didirikan leluhurnya. Perlahan-lahan ia mengorganisir kekuatan dengan memanfaatkan pola kepemimpinan kharismatik warisan ayahnya. Ia pun dianggap sebagai anak Tuhan. Ia mengorganisir pengikutnya menjadi kesatuan tentara agama yang dikenal dengan sebutan Qizilbasy (si kepala merah) karena mereka memakai topi merah.
Haidar melancarkan serangan ke wilayah Kaukasus Utara (Rusia) sebanyak dua kali. Saat serangan yang ketiga ia dihadang pasukan Farrukh Yasar dan Sultan Ya'qub. Haidar tewas. Anak tertuanya juga tewas di tangan Rustam penguasa Alaq Koyunlu.
Kepemimpinan Tarekat Safawiyah kemudian beralih ke tangan Ismail, anak bungsu Haidar. Ismail melarikan diri dan tinggal di Lahijan di bawah pengawasan Karkiya Mirza Ali. Karkiya mendatangkan ulama Syiah. Ulama ini nantinya menjadi sadr (semacam mentri agama) setelah Ismail berhasil mendirikan Dinasti Safawi.
Pada Maret 1500 dengan kekuatan 7.000 pasukan Qizilbasy, Ismail bergerak menyerang Arzinjan di Anatolia Timur. Ia juga melakukan balas dendam terhadap penguasa Syirwanid yang membunuh kakeknya. Mendengar adanya serangan itu Sultan Alwand dari Alaq Koyunlu melarikan diri.
Ketika Ismail mengukuhkan dirinya sebagai raja, ia pun memproklamasikan Syiah Isna Asyariyah (dua belas) sebagai agama negara. Karena Iran bertradisi Suni, ia harus mendatangkan ulama Syiah dari Irak, Bahrein dan Libanon.
Ismail mengklaim dirinya sebagai titisan Tuhan dan wakil Imam Mahdi melalui keturunan Imam Ketujuh (Musa al-Kazim).
Pengagungan terhadap Syah Ismail tercermin dalam puisi di bawah ini :
"Dia telah datang ke dunia ini atas perintah Ali. Dia memiliki zat yang sama dengan Ali. Seorang manusia dapat perupakan penjelmaan ketuhanan. Ismail adalah Adam yang mengenakan pakaian baru. Dia telah datang sebagai cahaya Tuhan, sebagai penutup para Nabi, sebagai pemandu yang sempurna, sebagai imam yang memandu. Dia adalah perantara yang mutlak; tubuhnya adalah rumah Tuhan. Dia mengatur matahari dan bulan."
Bukan mudah bagi Ismail men-Syiahkan rakyat Iran yang Suni. Kadang ia harus melakukan kekerasan terhadap ulama dan sastrawan untuk menerapkan ideologi Syiahnya.
Pada era Syah Abbas I berdiri lembaga pendidikan Syiah : sekolah teologi, terutama di ibukota Isfahan. Ulama aliran Isfahan antara lain : Mulla Sadra, Mir Findiriski dan Mulla Rajav Ali Tabrizi.
Belakangan seiring lemahnya kepemimpinan Dinasti Safawi ditambah perilaku hedonis mereka, menguatlah peran politik ulama fikih yang sangat anti pada pemikiran berbau tasawuf dan filsafat. Gerakan keagamaan bercorak fikih yang dimotori Muhammad Baqir Majlisi menekan kelompok tasawuf dan filsafat, menyebarkan doktrin Syiah yang bercorak fikih dan menekan paham Suni dan kelompok agama lain. Akibatnya hubungan tasawuf dengan Syiah terputus satu abad dan baru muncul kembali pada abad ke-19.
Sementara itu sistem pertahanan militer Kerajaan Safawi semakin rapuh. Pada tahun 1733 pasukan Afghan yang berkekuatan 20.000 tentara berhasil merebut Isfahan. Kekuatan politik Kerajaan Safawi yang telah berkuasa selama 222 tahun secara efektif berakhir meski ada beberapa pangeran mereka menjadi gubernur (Fajri, ETDI Vol. 2,, 2003:279)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s