Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto lahir 1882 di Madiun, anak seorang wedana, kakeknya bupati Panorogo dan buyutnya seorang kiai pengasuh pesantren. Lulus OSVIA di Magelang (1902) tapi tak mau jadi pamongpraja melainkan aktif di Syarikat Islam bahkan menjadi ketuanya. Ia pun menjadi anggota Volksraad sebelum kemudian mengambil sikap non koperasi. Setelah itu ia mengupayakan agar semua organisasi mengarah menjadi suatu "bangsa" dan anti kapitalisme. Saat ia menjadi tahanan karena peristiwa Garut, kongres SI memutuskan menyingkirkan anggotanya yang berpaham komunis dan sejak itu SI mengalami kemunduran sampai akhirnya HOS wafat tahun 1934. Kiprahnya di dunia internasional adalah saat ia mengikuti Kongres Organisasi Islam di Mekah thn 1926 yang disponsori raja Ibnu Saud. Murid HOS yang menge-kos di rumahnya di Surabaya,Sukarn o, kelak menjadi menantunya dan setelah Indonesia merdeka menjadi presiden pertama.
Versi lain :
Bung Karno tinggal di loteng rumah HOS selama bersekolah di HBS Surabaya dan saat berumah tangga dengan Oetari putri Pak Tjokro di mana Bung Karno harus menghidupi keluarga Pak Tjokro dengan bekerja di Jawatan Kereta Api dan cuti dari kuliahnya di THS Bandung. Saat itu Pak Tjokro masuk penjara dan Bu Tjokro telah tiada.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau Pak Tjokro adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.
Tjokroaminoto yang diberi gelar oleh Belanda sebagai De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota", adalah salah satu pelopor pergerakan di Indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimp in besar di Indonesia. Pemikirannya itu pula yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah "Setinggi-tingg i ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat". Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
Rumahnya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimba ilmu padanya, seperti Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda.
Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Setelah ia meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum sosialis/ komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapa n hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia karena memproklamasika n "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso. Dengan terpaksa Presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang", sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati pada 31 Oktober 1948 ,Pemberontakan dilanjutkan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya Kartosuwiryo pada 12 September 1962.
Pak Tjokro meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TPU Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau Pak Tjokro adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.
Tjokroaminoto yang diberi gelar oleh Belanda sebagai De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota", adalah salah satu pelopor pergerakan di Indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimp
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah "Setinggi-tingg
Rumahnya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimba ilmu padanya, seperti Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda.
Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Setelah ia meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya,
Pak Tjokro meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TPU Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar