Langsung ke konten utama

Haji Agus Salim


Menjelang perkawinannya di tahun 1903, Kartini menerima surat dari pemerintah Belanda bahwa permohonannya bersekolah di Belanda dikabulkan dan ia diberi bea siswa sebesar 4.800 gulden. Namun Kartini tidak mungkin lagi menggunakan peluang emas tersebut. Ia pun mengusulkan agar pemerintah Belanda mengalihkan bea siswa itu kepada seorang pemuda Minang yang sangat cerdas bernama Agus Salim. Agus Salim menolak bea siswa itu. Setelah beberapa lama bekerja sebagai penerjemah, ia merantau ke Riau, Indragiri dan ke Jedah, Arab Saudi. Agus Salim menguasai sembilan bahasa antara lain : Belanda, Inggris, Jerman, Perancis ,Arab dan Turki.
Agus Salim bernama kecil Masyhudul Haq berasal dari Sumatra Barat. Ayahnya, Sutan Muhammad Salim adalah seorang jaksa. Karena itu ia berhak bersekolah di HBS di Jakarta. Setelah itu ia belajar secara mandiri.
Saat berada di Arab Saudi, Agus Salim berkenalan dengan banyak tokoh dunia. Ia pun dipengaruhi oleh pandangan ulama besar seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani yang merupakan tokoh pembaru ajaran Islam.
Saat Agus Salim berada di Jedah pada tahun 1906-1911, ia bekerja pada Konsulat Belanda dan berurusan dengan urusan ibadah haji, meskipun semula ia bertekad tidak akan menjadi pegawai pemerintah. Kemudian ia menjadi pegawai pada Jawatan Pekerjaan Umum saat kembali ke Jakarta. Setelah itu ia pulang ke Koto Gadang dan mendirikan HIS. Dari sana ia kembali ke Jakarta dan mendirikan surat kabar Neratja pada tahun 1917. Selanjutnya ia diangkat sebagai pemimpin redaksi bahasa Melayu pada Commissie voor de Volkslectuur yang kemudian berkembang menjadi Balai Pustaka. Pada tahun 1917-1919 ia menjadi redaktur surat kabar Belanda Bataviaash Nieuwsblad.
Di bidang politik Agus Salim bergabung dalam Sarekat Islam dan menjadi tangan kanan Tjokroaminoto, ia pun pernah menjadi anggota Volksraad selama satu periode (1922-1925) menggantikan Tjokroaminoto. Sewaktu Sarekat Islam disusupi unsur-unsur komunis seperti Semaoen, Tan Malaka, Sudarsono, ia menegakkan disiplin partai. Anggota Sarekat Islam tidak diperkenankan merangkap menjadi anggota organisasi politik lain. Ia pun menggalang gerakan Pan Islam namun tidak berhasil. Sarekat Islam berubah menjadi Partai Sarekat Islam pada tahun 1923 kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Setelah Tjokroaminoto meninggal pada tahun 1934, Agus Salim menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin PSII.
Saat menjadi anggota Volksraad Agus Salim tetap aktif memimpin redaksi Fajar Asia di Yogyakarta dan Hindia Baru di Jakarta. Atas permintaan NVV (Nederlands Verbond van Vakverinigingen, Himpunan Perkumpulan Sarekat Sekerja Belanda), Agus Salim menjadi penasihat delegasi Belanda dalam konferensi buruh di Jenewa pada tahun 1929.
Pada zaman pendudukan Jepang, Agus Salim diangkat menjadi anggota Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Dia juga duduk sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) dan anggota Komite Bahasa Indonesia yang dibentuk Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim menjadi Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir II dan III (1936-1947) dan Menteri Luar Negeri pada Kabinet Amir Sjarifuddin dan Kabinet Hatta (1947-1949). Ia juga menjadi Ketua Delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India dan membuka hubungan diplomatik dengan negara negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudi. Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II pada tahun 1948, ia ditawan bersama Sukarno, Hatta, Sjahrir. Semula ditahan di Parapat kemudian ke Bangka.
Menurut catatan Soebagijo I.N. , pada tahun 1953 Agus Salim ditugaskan mewakili Pemerintah Indonesia menghadiri pelantikan Ratu Elizabeth II di Inggris. Ia juga diminta memberikan kuliah agama Islam di Cornwell University dan Princeton University, AS. Haji Agus Salim wafat tahun 1954 dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. Ia meninggalkan beberapa buku seperti Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia, Dari Hal Ilmu Quran, Muhammad voor en na de Hijrah dan Gods Laatse Boodshap (ENI, Vol. 15, 2004:350).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s