Langsung ke konten utama

Khawarij

Kelompok sektarian utama yang ketiga dalam Islam selain Sunni dan Syi'ah adalah Khawārij. Khawarij muncul akibat "fitnah besar" yang terjadi antara tahun 656 dan 661. Khawārij artinya orang-orang yang keluar, jamak dari kharījī.
Fitnah Besar. Ketika Khalifah Ali setuju untuk menyerahkan masalah pertikaiannya dengan Muawiyah kepada arbitrasi (tahkim) pada Perang Shiffin, sekelompok pengikutnya, yang sebagian besar berasal dari suku Tamim, menuduhnya mengingkari ayat ...
"Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil" (Kamar-kamar [Al-Ĥujurāt]:9 ).
Menurut mereka, Ustman layak mati karena kesalahan-kesalahannya; Ali adalah khalifah yang sah; dan Muawiyah adalah agresor yang membangkang, yang tidak layak untuk ditahkim (diarbitrasi). Dengan menyetujui arbitrasi ini, Ali melakukan dosa besar karena mengingkari ayat-ayat Allah, dan oleh sebab itu, mengeluarkan dirinya sendiri dari komunitas sejati orang beriman. Menurut mereka, Ali harus taat dan patuh kepada ayat, "perangi mereka supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah (Al-Anfal [8]:39-40). Allah telah memberikan hukum-Nya, dan tidak mungkin ada yang lain. "Lā hukma illā lillāh", tidak ada hukum kecuali milik Allah, menjadi keyakinan mereka.
Para pembangkang meninggalkan kubu Ali dan berkumpul di Harura di Terusan Nahrawan sehingga mereka disebut juga kaum Haruri. Mereka dibujuk oleh Ali agar kembali ke Kufah, tetapi ketika tahkim yang dilaksanakan mengalami kegagalan, mereka meninggalkan kota itu dengan membawa banyak simpatisan. Pada tahap inilah mereka disebut Khawarij atau orang-orang yang keluar. Dari Nahrawan mereka menyebarkan hasutan dan menyerbu wilayah Ali. Tatkala upaya upaya perdamaian tidak memperoleh hasil, Ali terpaksa memerangi mereka pada 7 Juli 658. Pertumpahan darah ini menyebabkan mereka bersumpah hendak membalas dendam. Pada Jumat akhir Januari 661, Ali dibunuh di Masjid Kufah oleh Ibn Muljam Al-Muradi, yang menuntut balas atas "pembunuhan Nahrawan."
Khawarij menegaskan bahwa setiap Muslim harus diperlakukan sama, tidak pandang suku atau ras. Karena itu banyak mendapat dukungan orang nom-Arab, suku Badui dan Arab selatan. Mereka juga melindungi kaum dzimmi, non-Muslim yang dilindungi.
Ajaran dasar Khawarij menyatakan bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar (kabirah) adalah murtad dari Islam dan tidak lagi berada di bawah perlindungan hukum Islam. Jika seorang Imam melakukan maksiat (dosa) atau kehilangan keadilannya ('adālah), ia harus dinerhentikan. Muslim non-Khawarij dianggap sebagai politeis (musyrik) atau kafir. Ahli kitab yang meminta perlindungan justru diperlakukan dengan baik. Al-Quran adalah makhluk dan manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Ada sekitar lebih dari 20 sekte Khawarij dan masing-masing memilih imamnya sendiri dan menganggap dirinya sebagai satu-satunya komunitas Muslim yang paling benar. Sekte-sekte Khawarij yang paling terkenal adalah Azāriqah, Sufriyah dan Ibādiyah. Ibadiyah satu-satunya sekte Khawarij yang bertahan hingga zaman modern, berpandangan bahwa kaum Muslim non-Khawarij hanyalah orang yang tidak beragama tapi bukan musyrik. Mereka menghasilkan sejumlah mutakallimun (para teolog) paling awal dalam Islam. Dari markasnya di Basrah, mereka mengirim tim-tim pengajar untuk menyebarkan doktrin mereka dan mengangkat imam di beberapa provinsi. Mereka membolehkan adanya beberapa imam jika kaum Mukmin terpisah oleh jarak. Di bawah kekuasaan Imam Rustami asal Persia, yang menguasai Tahart di Aljazair tengah dari 760 hingga 909, mereka mempunyai banyak pengikut di kalangan Suku Berber dari Tripolitania hingga Maroko dan diakui meskipun jauh dari Oman.
Mayoritas kaum Muslim dan keluarga penguasa Kesultanan Oman adalah Ibadhiyah. Ibadhiyah juga dijumpai di oase-oase Mzab dan Wargla di Aljazair, di Pulau Jerba lepas pantai Tunisia, di Jabel Nafusa dan Zuwaghah di Libia, serta Zanzibar dan beberapa perkampungan di pantai timur Afrika Timur. Kini jumlah mereka mungkin tidak lebih dari sejuta orang.
Ibadhiyah mengakui empat kemungkinan posisi : perwujudan (imamah), pembelaan diri (seorang pemimpin perang diakui sebagai imam), syirā' atau berkelana (dunia untuk surga, dalam perjuangan yang harus berujung pada kesyahidan), dan kitmān atau penyembunyian diri (ketika tidak ada kemungkinan bagi imam untuk dapat tampil serta sebuah dewan para syaikh untuk membuat putusan-putusan agama). Seluruhnya sama tepatnya dengan zaman mereka. Pada masa sekarang tidak ada imam, masa untuk imam akan segera tiba.
Pada periode kitman ini, kaum Ibadhiyah tidak senang kalau disebut Khawarij, karena mereka menunjukkan sikap simpati kepada kaum muslim lain, misalnya bersedia shalat berjamaah bersama, meskipun jarang menikah di luar kelompoknya. Mereka umumnya lebih suka disebut Sunni dan tidak pernah suka disebut Syi'ah (Esposito dalam EODIM Vol. 3, 2003:204-205).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s