Langsung ke konten utama

Persatuan Islam

Pembaruan Islam mencapai puncaknya ketika pada tanggal 12 September 1923 di Bandung berdiri Persatuan Islam (Persis) yang menyatakan diri tidak menganut mazhab tertentu. Persis didirikan oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Haji Zamzam & Haji Muhammad Yunus sama berasal dari Palembang. Zamzam seorang ulama yang menuntut ilmu di Darul Ulum di Mekah selama tiga tahun dan pernah mengajar di madrasah Dar al-Muta'allimin di Bandung. Sedangkan Yunus adalah seorang saudagar yang gemar belajar dengan membaca buku-buku agama dan tidak pernah menjadi guru agama, tetapi di tengah-tengah kesibukannya sebagai pedagang, ia selalu menyempatkan diri mendalami agama. Sebagai pedagang yang kaya ia mampu membeli bermacam-macam kitab agama yang ada.
Keduanya sering mengadakan pengajian di kalangan komunitas orang Palembang yang tinggal di Bandung di mana keduanya menjadi nara sumber. Dari sanalah muncul ide mendirikan organisasi dan lantas tahun 1923 mereka memutuskan untuk membentuk organisasi keagamaan bernama Persatuan Islam (Persis). Masalah yang didiskusikan mulai dari soal tajdid sampai kritik terhadap bidah dan khurafat. Isu-isu seperti itu mereka dapat dari majalah kaum pembaharu seperti Al Munir yang terbit di Padang dan Al Manar yang terbit di Kairo. Selain itu juga dipicu oleh adanya perdebatan masalah komunisme dan Islam serta pertikaian antara Al Irsyad dengan Jamiatul Khair.
Oleh karena Persis lahir dari kelompok diskusi pertemuan keluarga, organisasi ini lebih merupakan gerakan pemikiran daripada organisasi yang mengutamakan jumlah anggota ataupun cabang-cabang di berbagai kota. Perhatian Persis memang pada usaha menyebarkan pemikirannya. Persis terkenal sangat keras menentang aliran kepercayaan yang bersifat syirik dan khurafat,
praktik-praktik yang bersifat bidah dan sikap taqlid dalam beragama. Kegiatan utama Persis adalah membuat penerbitan, mendirikan sekolah, mengadakan tablig dan diskusi.
Para pendiri Persis mendapat darah segar dengan hadirnya Ahmad Hasan, ulama Singapura keturunan India-Indonesia yang berpendirian modern dan radikal dan kemudian mewarnai Persis. Hasan inilah yang menjadi mitra korespondensi Bung Karno saat diasingkan di Ende Flores. Hal tersebut bisa ditelusuri dalam DBR. Hasan sebagai guru Persis dan M. Natsir sebagai jubirnya pada tahun 30-an menjadi pembela nasionalisme Islam saat terjadi polemik dengan aktivis Permi di Minangkabau mengenai dasar persatuan Indonesia. Di bawah pengawasan Natsir, Persis membuat lembaga pendidikan seperti TK, HIS, MULO, sekolah guru dan pesantren (1936). Para santri selain dituntut dalam persyaratan akademik juga disumpah untuk menjadi propagandis Persis. Pesantren ini kemudian pindah ke Bangil Jatim mengikuti kepindahan Hasan dengan membawa 25 santri dari 40 santri yang ada ketika itu. Pesantren Persis di Bangil masih berdiri sampai sekarang meski A. Hassan telah wafat pada tahun 1958. Hasan seorang ulama yang produktif menulis, dan bukunya dianggap identik dengan Persis, antara lain Tafsir Al Furqon, Terjemahan Hadis Bulughul Maram, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama dan Adakah Tuhan. (Hisyam & Effendi, 2002:131).
Ekspresi dakwahnya yang keras dan tegar seringkali menyebabkan timbulnya perdebatan dari kalangan Islam sendiri. Perhatian yang besar pada penerbitan majalah, pamflet dan buku, menjadikan pemikiran Persis meluas melampaui batas-batas anggotanya. Pemikiran keagamaan Persis yang berciri reformis banyak mempengaruhi Muhammadiyah dan Al Irsyad oleh karena para pemimpin oeganisasi ini banyak menggunakan buku dan majalah yang diterbitkan Persis, dalam melakukan dakwahnya. Beberapa publikasi yang penting adalah Pembela Islam, Al Fatwa, Al Lisan, Soal Jawab, Al Muslimun dan Risalah.
Sampai sekarang para siswa Persis di Bandung tetap bersekolah pada hari Minggu karena mereka libur pada hari Jumat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...