Langsung ke konten utama

Islam dan Sosialisme

“Bagi kita orang Islam, tidak ada sosialisme atau rupa-rupa isme yang lain-lainnya yang lebih baik, lebih elok, dan lebih mulia, selain sosialisme yang berdasarkan Islam.” —H.O.S. Tjokroaminoto
Setelah Kongres Istimewa PKI pada 24 Desember 1920, pertentangan di tubuh CSI (Centraal Sarekat Islam) antara golongan Semaun dan golongan Tjokroaminoto semakin melebar.
Melihat kenyataan tersebut para tokoh SI tidak tinggal diam. Dengan giat mereka menggembleng para anggota SI dengan paham "sosialisme berdasarkan Islam," baik melalui surat kabar SI maupun melalui pidato di Kongres Al Islam di Garut tahun 1922. Komite kongres ini diselenggarakan bersama Muhammadiyah untuk meluaskan ide Pan Islamisme. Hubungan-hubungan dengan gerakan Islam di luar negeripun diusahakan (Sudiyono, ENI Vol. 12, 2004:205; Masyhuri, ENI Vol. 7, 2004:253).
Dari sekian banyak artikel yang pernah ditulis Tjokroaminoto, ada dua judul yang paling mencuri perhatian, yakni “Apakah Sosialisme Itu” dan “Sosialisme Berdasar Islam.” Dua tulisan ini dimuat di surat kabar resmi SI, Oetoesan Hindia, yang terbit perdana pada 1 Januari 1913. Selanjutnya, pada November 1924, Tjokroaminoto menerbitkan buku dari hasil pemikirannya dengan judul Islam dan Sosialisme (Tirto.id , 12 Desember 2017).
Kursus-kursus Islam dan Sosialisme diberikan Tjokroaminoto di Yogyakarta dan salah seorang pesertanya adalah Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah - Ketua MUI yang pertama - yang kala itu baru berumur 16 tahun.
Hamka rutin mengikuti kursus yang diselenggarakanSI di Yogyakarta pada pertengahan era 1920-an. Tjokroaminoto mengampu materi Islam dan Sosialisme.
“Beliau dalam kursusnya tidak mencela (Karl) Marx dan (Friedrich) Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya sebab teori Histori(s) Materialisme Marx dan Engels telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung sebab tidak perlu mengambil teori yang lain lagi,” sebut Hamka (Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, 1952: 36).
Putra Minang yang sudah merantau ke Jawa sejak usia 16 tahun ini memang sangat mengagumi sekaligus mengidolakan sosok Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Islam terbesar di Hindia Belanda kala itu. Begitu pula para peserta kursus lainnya.
“Bilamana tiba giliran beliau Tjokroaminoto, mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah-wajah para kursusisten (peserta kursus)... Saya seakan-akan bermimpi, sebab akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi jiwaku,” kenang Hamka. “Dengan asyik, beliau menerangkan sosialisme dari segi Islam berdasarkan ayat dengan menuliskan nomor-nomor ayat, dengan hadis dengan menuliskan arti dan perawinya."
Tjokroaminoto tidak pernah alergi dengan sosialisme yang memang sedang bersemi di Indonesia pada awal dekade ke-2 abad ke-20 itu. Ia bahkan dengan serius mempelajari sosialisme, kendati turunan dari paham inilah yang akhirnya membelah organ dalam SI dan melahirkan wadah baru yang nantinya memakai nama Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tentang Islam dan Pan-Islamisme sudah saya sampaikan pada tulisan terdahulu. Lalu apakah sosialisme ?
SOSIALISME adalah suatu ajaran atau doktrin yang nenekankan nilai-nilai kebersamaan pemilikan dan menentang adanya penguasaan barang-barang produksi terpenting oleh sekelompok orang. Sosialisme mengatur pola-pola distribusi barang-barang produksi dan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk bisa menikmati hasil-hasil pembangunan, baik dalam bidang kebudayaan, sosial, maupun ekonomi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...