Langsung ke konten utama

Pan-Islamisme

Pertikaian Terbuka SI-PKI.
Pada bulan November 1920 surat kabar PKI (Partai Komunis Hindia) yang berbahasa Belanda Het Vrije Woord (Kata Yang Bebas) menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah nasional dan penjahahan, yang berisi kecaman-kecaman terhadap Pan Islam dan Pan-Asianisme. Sementara itu SI (Sarekat Islam) kian lama kian dipengaruhi Haji Agus Salim dan para pendukung Pan Islamisme. Akibatnya terjadi pertikaian terbuka yang sengit. PKI dituduh anti Islam . Pertikaian terbuka secara berapi-api itu baik dalam pertemuan-pertemuan maupun dalam surat-kabar membuat basis masa SI cenderung untuk keluar dari organisasi politik (Ricklefs, 2005:364)
Upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian tersebut mengalami kegagalan.

Pan Islamisme.
Apakah Pan Islamisme yang menjadi sasaran kritik PKI dan Lenin ?
Islamisme adalah suatu paham atau ajaran yang berdasarkan Islam. Dalam kehidupan politik ada sekurang-kurangnya dua aliran atau pandangan tentang Islamisme. Pandangan pertama menganggap Islamisme identik dengan Islam. Pandangan lain beranggapan bahwa Islamisme tidak identik dengan Islam, karena isme itu adalah hasil ciptaan manusia yang sifatnya relatif, sedangkan Islam sebagai sumber Islamisme itu nilainya mutlak. Lebih jauh, kaum muslim dapat menerima Islamisme sepanjang istilah itu hanya merupakan paham atau usaha pemahaman terhadap Islam sebagai suatu kebulatan ajaran. Atas dasar inilah mereka menolak arti Islamisme yang bermaksud menurunkan derajat Islam sebagai suatu paham atau isme buatan manusia.
Selain tentang kebajikan, Islamisme dapat pula meliputi ideologi atau ajaran tentang hal ikhwal kenegaraan dan kemasyarakatan. Atas dasar ini muncul istilah Pan-Islamisme yaitu suatu usaha untuk meningkatkan persatuan atau solidaritas di antara negara-negara yang berideologi Islam atau menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai acuannya (Sudibjo, 2004:256).
Menurut Bung Karno dua tokoh atau panglima Pan-Islamisme yang sinarnya berkilauan adalah Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor Universitas Al Azhar dan Seyid Jamaluddin El Afghani. Dalam risalahnya yang berjudul Nasionalisme-Islamisme-Marxisme yang dimuat pada majalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, Bung Karno menilai Seyid Jamalluddin El Afghani lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh (Sukarno, DBR I, 2005:8).
Insya Allah akan saya uraikan pada kesempatan lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...