Pada tanggal 4 Desember 1938, PARII (Partai Islam Indonesia) yang didirikan pada tahun 1932 berubah menjadi Partai Islam Indonesia (PII). Keanggotaan PII terdiri atas gabungan pimpinan dari beberapa organisasi yakni dari PARII, pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan JIB (Jong Islamieten Bond). PARII merupakan partai yang didirikan oleh para anggota PSII yang keluar atau dikeluarkan karena tidak menyetujui kebijakan yang dibuat oleh pimpinan PSII saat itu yaitu Abikusno Tjokrosujoso yang bertahan dengan sikap nonkooperasinya terhadap pemerintah kolonial.
Para tokoh PII antara lain Wiwoho, Dr. Soekiman, Ahmad Kasmat, Wali Alfatah, Kiai Haji Mas Mansoer, Kiai Haji Hadikoesoemo, Abdul Kahar Muzakkir, Kiai Haji Faried Ma'ruf dan Haji Muhammad Rasjidi. Raden Wiwoho adalah mantan ketua JIB yang juga anggota Volksraad. Ia tokoh muda yang menjadi figur nasional karena kegiatannya di dalam Volksraad. Keikutsertaan Mansur sebagai ketua umum Muhammadiyah dalam pimpinan pusat partai, menimbulkan perdebatan dalam organisasi Muhammadiyah. Tapi akhirnya Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada Mansur untuk turut serta dalam organisasi PII.
Dalam kongres tahun 1940, PII menghendaki negara kesatuan yang dilengkapi oleh pemerintahan yang demokratis, dengan suatu parlemen, lembaga perwakilan berdasar pemilihan umum yang bersifat langsung dan umum. PII juga menghendaki Indonesianisasi anggota staf pemerintah, perluasan politik, kemerdekaan berbicara, mengeluarkan pendapat dan berpikir, serta kemerdekaan pers. Dalam bidang agama, PII menginginkan dihapuskannya peraturan-perat uran pemerintah yang menghambat Islam. Dalam bidang ekonomi, PII menuntut penyerahan perusahaan-peru sahaan vital negara, penghapusan berbagai macam pajak yang memberatkan beban rakyat banyak dan (menghendaki ditiadakannya) tekanan dari perusahaan-peru sahaan asing. PII menyatakan menolak terhadap milisi pribumi yang ingin dibentuk oleh pemerintah kolonial di tengah-tengah tidak adanya kemakmuran dan hak-hak politik rakyat.
Tujuan PII adalah memperkenalkan persaudaraan umat Islam dan menyadarkan rakyat akan haknya untuk mengatur negrinya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Meskipun demikian PII tidak bersedia bergabung kembali dengan PSII dengan alasan kegiatan umat Islam dalam bidang politik masih kurang sehingga perlu dibentuk sebuah partai baru.
Aktivitas PII terhenti ketika pemerintah kolonial mengumumkan negara dalam bahaya (SOB) dan melarang setiap aktivitas politik, namun PII baru benar-benar bubar tahun 1942, saat Jepang memulai menduduki Indonesia (Purwoko, 2003:201-202).
Komentar
Posting Komentar