Seyid Djamaluddin El-Afghani (1839-1897).
Dalam risalahnya yang berjudul Nasionalisme - Islamisme-Marxi sme yang dimuat pada majalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, Bung Karno menilai Seyid Djamaluddin El Afghani lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh (Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, 2005:8). Siapakah Djamaluddin El Afghani ? Berikut ini kisah singkatnya.
(Bahan untuk tulisan ini sebagian saya dapat dari tulisan guru saya saat belajar filsafat pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau adalah Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir dari Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung. Artikel beliau berjudul Pemikiran Islam Di Zaman Modern yang termuat pada Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol. 4 Berjudul Pemikiran dan Peradaban. Setelah saya banding-banding kan tulisan Prof. Tafsir ini adalah yang paling lengkap yang bisa saya dapatkan. Sebagai pembanding adalah pandangan pakar ke-Islaman dari Barat).
Seyid Djamaluddin El Afghani (ejaan ini tetap saya gunakan sesuai tulisan Bung Karno dalam DBR I) adalah pemimpin pembaruan Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara lain. Awalnya ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864, ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A'zam Khan menjadi Perdana Menteri Afghanistan. Karena alasan keamanan pada tahun 1869 ia pindah ke India. Di India pun ia tidak bebas, maka pada tahun 1871 ia pindah ke Mesir.
Di Mesir Jamaluddin el Afghani giat memberikan kuliah dan mengadakan diskusi-diskusi . Di antara murid-murid el Afgani itu yang kelak menjadi tokoh kenamaan di Mesir ialah Muhammad Abdouh dan Sa'ad Zaghlul.
Saat itu El Afghani melihat telah tiba waktunya untuk membentuk sebuah partai politik, maka pada tahun 1879, atas usahanya, terbentuklah Partai Nasional (Hizb al-Watān). Slogan "Mesir untuk orang Mesir" pun mulai terdengar.
Selama delapan tahun bermukim di Mesir, el-Afghani telah membangkitkan gerakan berpikir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. Mesir modern adalah hasil usaha Djamaluddin el-Afghani, begitu menurut Ibrahim Madkur (filsuf Mesir).
Dari Mesir, el-Afghani pindah ke Perancis. Di sini ia mendirikan perkumpulan al-'Urwah al-Wušqā. Tujuannya antara lain memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam ke kemajuan.
Atas undangan Sultan Hamid, el-Afghani selanjutnya pindah ke Istanbul pada tahun 1892. Tetapi kerjasama antara keduanya tidak mulus karena el-Afghani berpikiran demokratis sementara Sultan Hamid masih mempertahankan otokrasi. Karena takut terhadap pengaruh el-Afghani yang begitu besar, maka kebebasan el-Afghani dibatasi Sultan. Ia tidak boleh keluar dari Istanbul. Ia tetap di sana hingga wafat pada tahun 1897.
Meskipun el-Afghani lebih banyak berkecimpung di bidang politik, tapi ia juga tokoh pembaharuan. Menurutnya perlu re-interpretasi terhadap ajaran Islam dan karena itu pintu ijtihad perlu dibuka.
Menurut el-Afghani, umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran yang sejati. Ia mengambil contoh mengenai qadā dan qadar. Menurutnya, di masa silam paham ini memupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam. Kini, itu dirusak dan diubah menjadi paham fatalis. Paham qadā dan qadar yang tadinya bersifat dinamis menjadi paham yang statis.
Sebab-sebab kemunduran umat Islam di bidang politik, menurut pendapatnya, ialah karena perpecahan di kalangan umat Islam, pemerintahan yang absolut, pemimpin yang tidak dapat dipercaya, mengabaikan pertahanan militer, pemimpin yang tidak kompeten dan adanya campur tangan asing.
Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut pendapatnya, ialah melenyapkan salah pengertian yang dianut umat Islam dengan cara kembali ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Corak kepemimpinan otokratik harus diubah menjadi demokratik. Islam menghendaki pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengemukakan pendapat dan kewajiban negara untuk tunduk kepada undang-undang. Di atas segalanya, persatuan umat Islam harus diwujudkan. Ia menghendaki Pan-Islamisme. Isi ide Pan-Islamisme adalah persatuan umat Islam. Persatuan dan kerjasama adalah sendi yang amat penting dalam Islam. Ide El-Afghani banyak mempengaruhi Sheikh Mohammad Abdouh, dan Abdouh banyak mempengaruhi dunia Islam ( Tafsir, 2003:398-399).
Robert L. Tignor dari Prince University mengatakan bahwa Djamaluddin El-Afghani adalah penulis dan guru yang sangat bersemangat dan berpengaruh dalam menggerakkan gerakan nasionalis yang pertama di Mesir. Djamaluddin beranggapan bahwa tumbuhnya pengaruh Barat mengancam otonomi Timur Tengah. Karena itu ia berkeliling ke seluruh dunia muslim dan mendorong para pemimpin muslim untuk bersatu. Djamaluddin adalah eksponen nasionalis dan Pan-Islamisme yang percaya bahwa nasionalisme dan Pan-Islamisme dapat menghadapi tantangan Barat. Sedangkan menurut Geoffrey L. Lewis dari Oxford University, Jamalluddin El Afghani (1838-1897) adalah cendikiawan besar yang memiliki kekuatan retorika. Ia meninggalkan Afghanistan setelah pihak yang didukungnya kalah dalam perang sipil tahun 1863-1868. Ia tidak hanya antikolonial tapi juga tidak menyukai para pemimpin muslim yang dianggapnya mengidap despotisme reaksioner. Kemudian ia tinggal di Turki atas undangan Sultan Abdul Hamid II. Kaisar Jerman William II dalam rangka melawan kekuasaan Inggris di India mendorong Sultan Abdul Hamid II menggunakan gelar Khalifah dan menggunakan kepemimpinannya di dunia Muslim. Pan-Islamisme berjalan di India tetapi gagal saat diuji oleh Ottoman dalam Perang Suci tahun 1914. Gerakan nasionalis tumbuh di wilayah Arab dan orang-orang Turki juga menyadari akan identitasnya (Encyclopedia Americana Vol. 10, 2001:15 dan Vol. 21, 2001: 360).
Dalam risalahnya yang berjudul Nasionalisme - Islamisme-Marxi
(Bahan untuk tulisan ini sebagian saya dapat dari tulisan guru saya saat belajar filsafat pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau adalah Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir dari Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung. Artikel beliau berjudul Pemikiran Islam Di Zaman Modern yang termuat pada Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol. 4 Berjudul Pemikiran dan Peradaban. Setelah saya banding-banding
Seyid Djamaluddin El Afghani (ejaan ini tetap saya gunakan sesuai tulisan Bung Karno dalam DBR I) adalah pemimpin pembaruan Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara lain. Awalnya ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864, ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A'zam Khan menjadi Perdana Menteri Afghanistan. Karena alasan keamanan pada tahun 1869 ia pindah ke India. Di India pun ia tidak bebas, maka pada tahun 1871 ia pindah ke Mesir.
Di Mesir Jamaluddin el Afghani giat memberikan kuliah dan mengadakan diskusi-diskusi
Saat itu El Afghani melihat telah tiba waktunya untuk membentuk sebuah partai politik, maka pada tahun 1879, atas usahanya, terbentuklah Partai Nasional (Hizb al-Watān). Slogan "Mesir untuk orang Mesir" pun mulai terdengar.
Selama delapan tahun bermukim di Mesir, el-Afghani telah membangkitkan gerakan berpikir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. Mesir modern adalah hasil usaha Djamaluddin el-Afghani, begitu menurut Ibrahim Madkur (filsuf Mesir).
Dari Mesir, el-Afghani pindah ke Perancis. Di sini ia mendirikan perkumpulan al-'Urwah al-Wušqā. Tujuannya antara lain memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam ke kemajuan.
Atas undangan Sultan Hamid, el-Afghani selanjutnya pindah ke Istanbul pada tahun 1892. Tetapi kerjasama antara keduanya tidak mulus karena el-Afghani berpikiran demokratis sementara Sultan Hamid masih mempertahankan otokrasi. Karena takut terhadap pengaruh el-Afghani yang begitu besar, maka kebebasan el-Afghani dibatasi Sultan. Ia tidak boleh keluar dari Istanbul. Ia tetap di sana hingga wafat pada tahun 1897.
Meskipun el-Afghani lebih banyak berkecimpung di bidang politik, tapi ia juga tokoh pembaharuan. Menurutnya perlu re-interpretasi
Menurut el-Afghani, umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran yang sejati. Ia mengambil contoh mengenai qadā dan qadar. Menurutnya, di masa silam paham ini memupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam. Kini, itu dirusak dan diubah menjadi paham fatalis. Paham qadā dan qadar yang tadinya bersifat dinamis menjadi paham yang statis.
Sebab-sebab kemunduran umat Islam di bidang politik, menurut pendapatnya, ialah karena perpecahan di kalangan umat Islam, pemerintahan yang absolut, pemimpin yang tidak dapat dipercaya, mengabaikan pertahanan militer, pemimpin yang tidak kompeten dan adanya campur tangan asing.
Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut pendapatnya, ialah melenyapkan salah pengertian yang dianut umat Islam dengan cara kembali ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Corak kepemimpinan otokratik harus diubah menjadi demokratik. Islam menghendaki pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengemukakan pendapat dan kewajiban negara untuk tunduk kepada undang-undang. Di atas segalanya, persatuan umat Islam harus diwujudkan. Ia menghendaki Pan-Islamisme. Isi ide Pan-Islamisme adalah persatuan umat Islam. Persatuan dan kerjasama adalah sendi yang amat penting dalam Islam. Ide El-Afghani banyak mempengaruhi Sheikh Mohammad Abdouh, dan Abdouh banyak mempengaruhi dunia Islam ( Tafsir, 2003:398-399).
Robert L. Tignor dari Prince University mengatakan bahwa Djamaluddin El-Afghani adalah penulis dan guru yang sangat bersemangat dan berpengaruh dalam menggerakkan gerakan nasionalis yang pertama di Mesir. Djamaluddin beranggapan bahwa tumbuhnya pengaruh Barat mengancam otonomi Timur Tengah. Karena itu ia berkeliling ke seluruh dunia muslim dan mendorong para pemimpin muslim untuk bersatu. Djamaluddin adalah eksponen nasionalis dan Pan-Islamisme yang percaya bahwa nasionalisme dan Pan-Islamisme dapat menghadapi tantangan Barat. Sedangkan menurut Geoffrey L. Lewis dari Oxford University, Jamalluddin El Afghani (1838-1897) adalah cendikiawan besar yang memiliki kekuatan retorika. Ia meninggalkan Afghanistan setelah pihak yang didukungnya kalah dalam perang sipil tahun 1863-1868. Ia tidak hanya antikolonial tapi juga tidak menyukai para pemimpin muslim yang dianggapnya mengidap despotisme reaksioner. Kemudian ia tinggal di Turki atas undangan Sultan Abdul Hamid II. Kaisar Jerman William II dalam rangka melawan kekuasaan Inggris di India mendorong Sultan Abdul Hamid II menggunakan gelar Khalifah dan menggunakan kepemimpinannya
Komentar
Posting Komentar