Langsung ke konten utama

Sheikh Mohammad Abdouh Pemikir Islam Modernis

Panglima Pan-Islamisme yang sinarnya berkilauan adalah Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor Universitas Al Azhar dan Seyid Djamaluddin El Afghani (Sukarno, 2015:8). Siapa dan apa Seyid Djamalluddin El Afghani sudah saya sampaikan kemarin, kini giliran Sheikh Mohammad Abdouh. Berikut ini kisah singkatnya menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir dari UIN SGD dan para penulis Barat.
Sheikh Mohammad Abdouh (1849-1905).
Abdouh lahir di Mesir. Awalnya ia disuruh belajar membaca dan menulis agar dapat membaca dan menghafal Al-Qur'an. Dalam waktu dua tahun ia dapat menghafal Al-Qur'an. Abdouh juga disuruh orangtuanya mempelajari bahasa Arab. Lagi-lagi ia disuruh menghafal. Karena tidak puas dengan metode menghafal di luar kepala itu, Abdouh lari meninggalkan pelajarannya di Tanta. Karena ia yakin belajar tidak betmanfaat baginya, maka ia berniat menjadi petani. Pada tahun 1865, saat berusia 16 tahun, ia menikah.
Niatnya menjadi petani tidak dapat diteruskan karena ia dipaksa orangtuanya kembali ke Tanta. Ia pun meninggalkan kampungnya, tapi bukan ke Tanta, melainkan ke rumah pamannya. Di sini ia bertemu dengan seseorang yang mengubah jalan hidupnya. Orang itu adalah Sheikh Darwisy Khadr, paman dari ayah Abduh. Sheikh Darwisy selalu membujuk Abdouh supaya membaca buku bersamanya. Setiap Abdouh selesai membaca satu kalimat, Sheikh Darwisy memberikan penjelasan panjang lebar tentang maksud kalimat tersebut. Dengan cara itu, berubahlah Abdouh dari malas membaca menjadi senang membaca. Sheikh Darwisy mengajarkan cara membersihkan hati dan cara memahami agama Islam dengan mengikuti Al-Qur'an dan sunah yang sahih, tidak fanatik kepada pendapat pimpiman mazhab, tafsir, atau karangan umat Islam. Setelah selesai belajar di sana, ia meneruskan pelajarannya ke Universitas al-Azhar di Cairo pada tahun 1866.
Sewaktu masih belajar di al-Azhar, Djamaluddin el-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah Abdouh untuk pertama kalinya berjumpa dengan el-Afghani. Ketika el-Afghani datang lagi ke Mesir pada tahun 1871 untuk menetap di sana, Abdouh menjadi muridnya yang paling setia. Pada tahun 1877, Abdouh menyelesaikan studinya di al-Azhar. Ia mengajar di al-Azhar, kemudian di Darul Ulum, selain di rumahnya sendiri.
Abdouh berpendapat bahwa kemunduran umat Islam adalah karena kejumudan yang terdapat di kalangan umat Islam. Jumud itu membeku, statis, tidak ada perubahan. Sikap ini dimasukkan ke dalam Islam oleh orang-orang non-Arab yang ingin merampas puncak keluasaan politik di dunia Islam.
Abdouh juga berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bidah ke dalam Islam merupakan penyebab umat Uslam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk menghilangkan bidah itu, umat Islam harus kembali ke ajaran Islam yang sejati, sebagaimana pada zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama besar. Baginya kembali ke ajaran asli saja (seperti diajarkan Muhammad Abdul Wahab) tidaklah cukup. Ajaran Islam harus dikembalikan kepada aslinya dengan interpretasi yang disesuaikan dengan keadaan modern. Untuk itu pintu ijtihad perlu dibuka. Dengan sendirinya taklid (tunduk membabi buta) kepada pendapat ulama tidak perlu dipertahankan.
Menurut Abdouh, al-Qur'an bukan berbicara kepada hati manusia, melainkan kepada 'aql (akal) manusia. Iman seseorang tidak sempurna jika tidak berdasarkan akal. Hanya dalam Islam, agama dan akal pertama kali menjadi pengikat tali persaudaraan. Akal adalah pembantu paling utama dan naql menjadi sendi paling kokoh. Keyakinannya pada kemampuan akal membawa Abduh kepada paham kebebasan berkehendak dan bertindak. Ini merupakan paham Kadariah. Ia juga setuju dengan analisa yang mengatakan bahwa umat Islam mundur karena paham Jabariah.
(Tafsir, 2003:400).
Abdouh adalah Rektor Universitas Al Azhar. Universitas Al Azhar yang berdiri pada tahun 970 adalah universitas yang paling termasyhur bagi para mahasiswa Muslim. Ia mengusahakan perubahan kurikulum al-Azhar. Ilmu modern ia masukkan ke dalam kurikulum al-Azhar. Modernisasi sistem pendidikan al-Azhar akan berpengaruh besar terhadap perkembangan usaha pembaharuan dalam Islam.
Tignor berpendapat bahwa Mohammad Abdouh adalah sarjana Islam yang paling berpengaruh di abad ke-19. Abdouh yang menulis di perempat akhir tahun 1800-an berpandangan bahwa Islam kompatibel dengan sains modern. Muridnya, Rashid Rida, yang lebih konservatif dan kurang pro terhadap Barat menekankan titik oposisi antara Islam dan Barat Kristen (Encyclopedia Americana Vol. , 2001: 20).
Djamaluddin el-Afghani (1839-1897) bersama Mohammad Abdouh (1849-1905) menciptakan suatu gerakan pembaharuan yang disebut modernisme di Kairo.
Modernisme mempunyai tujuan ganda : 1). Ingin membebaskan diri dari dominasi keempat mazhab abad pertengahan dan kembali kepada sumber Islam yang asli : Al Quran (perintah Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW) dan Sunah (sabda dan teladan Nabi Muhammad SAW). Dengan demikian tujuan modernisme yang pertama adalah bersemangat pemurnian, bersifat fundamentalis dan berdasar pada sumber-sumber suci. 2). Ijtihad baru ini harus memanfaatkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan modern (Barat) yang dapat dipadukan dengan Islam yang murni untuk mengangkat peradaban Islam keluar dari zaman kebodohan, ketakhayulan, dan kemunduran.
Ide-ide Mohammad Abdouh besar pengaruhnya terhadap dunia Islam secara keseluruhan, terutama di dunia Arab, melalui karangan Abdouh sendiri maupun tulisan muridnya seperti Mohammad Rasyid Ridha, Qasim Amin, Sheikh Tantawi el- Djauhari, Mohammad Husain Haekal dan Abbas Mahmoud el-Akkad.
Di Indonesia murid-murid dan pengikut Abdouh cukup berpengaruh dan menjadi pembaharu di Sumatra dan Jawa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s