Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2023

Resolusi Jihad

  Pada 22 Oktober 1945 sebuah keputusan dihasilkan dari rapat besar konsul-konsul (setingkat pengurus wilayah sekarang) NU se-Jawa dan Madura, di Surabaya, Jawa Timur. Pada pertemuan tersebut, menghasilkan keputusan yang disebut Resolusi Jihad.   Berikut ini adalah isi dari Resolusi Jihad NU sebagaimana pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.    “Bismillahirrahmanirrahim Resolusi Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya:   Mendengar: Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.   Menimbang: a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-t

Sukarno dan Empat Ulama Tasawuf

Pemilihan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia selain karena pandangan mistik Sukarno secara pribadi, nampaknya juga dipengaruhi oleh pandangan sufistik para ulama. Fakta ini diungkapkan oleh Kyai Moch. Muchtar bin Alhaj Abdul Mu’thi di Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah di Losari, Ploso, Jombang, Jawa Timur. Menurut beliau,  kurang lebih lima bulan sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno mencari ulama tasawuf yang mempunyai tingkat mukasyafah atau inkisyaf. Sukarno berhasil menemukan empat orang ulama tasawuf yaitu : Syeikh Musa Sukanegara (Ciamis), K.H. Abdul Mu’thi (Madiun), Sang Alif atau R. Sosrokartono (Bandung), dan K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Cukir (Jombang). Kesimpulan dari pertemuan Sukarno dengan keempat ulama tasawuf tersebut adalah : “Tidak lama akan ada berkat rahmat Allah besar turun di Indonesia, di bulan Ramadan, tanggal 9 tahun 1364 H, hari Jumat

Proklamasi di Bulan Suci Ramadan

Para pemuda mendesak Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka menghendaki proklamasi dibacakan pada tanggal 16 September 1945 lepas dari PPKI dan mereka sudah menyiapkan jaringannya untuk mendukung Sukarno karena Sjahrir tidak bersedia membacakan proklamasi. Para pemuda pun menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Sementara sekelompok pemuda lainnya memproklamasikan kemerdekaan di Cirebon tanggal 16 Agustus 1945. Sukarno bersikeras tidak mau memproklamasi kemerdekaan Indonesia sebelum waktunya. Ia telah memilih tanggal yang menurutnya tepat untuk itu, 17 Agustus 1945. Bukan suatu kebetulan, tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari  Jumat di bulan Ramadan. Dalam biografinya, Sukarno berkata : “Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-ta

Pengesahan Pembukaan UUD 1945

 Dalam Rapat Besar tanggal 18 Agustus 1945, Ketua PPKI Sukarno membacakan naskah pembukaan UUD yang sudah dibahas bersama-sama. "Kalau tidak ada lagi, saya baca seluruhnya, maka kemudian saya sahkan." "Pembukaan UUD 1945" "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur." "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." "Kemudian daripada itu untuk membentuk sesuatu pemerintah negara Indonesi

Piagam Jakarta

Setelah pidato Ir. Sukarno, Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman, memutuskan untuk membentuk Panitia Kecil dengan tugas menyusun rumusan tentang Dasar Negara yang dapat disetujui oleh golongan Nasionalis Religius dan Islam Nasionalis dengan pidato Ir. Sukarno sebagai bahan utama ditambah usul dari semua anggota BPUPKI yang mengajukannya. Tugas harus diselesaikan pada masa sidang kedua BPUPKI, tetapi Ir. Sukarno mengambil inisiatif untuk menyelesaikannya pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menghasilkan Mukadimmah / Piagam Jakarta / Gentlemen’s Aggreement. Panitia Kecil yang dibentuk secara resmi oleh BPUPKI terdiri dari delapan orang yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Oto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasjim. Sedangkan Panitia Kecil yang tidak resmi terdiri dari 9 orang, yaitu : Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. A. Maramis, Mr. A. Soebardjo, K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Muza

Lahirnya Panca Sila

 "Paduka tuan Ketua yang mulia! Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini. Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang s

Barisan Hizbullah Laskar Bentukan Masyumi

  Selain Heiho dan PETA ada beberapa kelompok pemuda dan militer yang baru seperti Barisan Pelopor dan Barisan Hizbullah berdiri di tahun 1945. 1. Barisan Pelopor  Untuk pertama kalinya Jawa Hokokai diberikan organisasi pemuda sendiri, Barisan Pelopor, yang pada akhir perang konon beranggotakan 80.000 orang, Pada mulanya, Barisan Pelopor akan digunakan untuk menyiarkan propaganda, tetapi pada bulan Mei 1945 organisasi ini mulai mengadakan latihan gerilya. Para pemimpin pemuda perkotaan yang berpendidikan berhubungan dengan tokoh-tokoh Jawa Hokokai yang dipimpin oleh Sukarno (Ricklefs, 2003: 422). 2. Barisan Hizbullah Laskar Bentukan Masyumi Pada bulan Desember 1944, Masyumi diperbolehkan Jepang untuk membuat sayap militer yang diberi nama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan). Barisah Hizbullah memulai latihannya pada bulan Februari 1945 dan konon memiliki anggota hingga 50.000 orang. Kepemimpinannya  didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota  faksi PSII ya

K. H. Zaenal Mustafa (1901-1944)

Kiai Haji Zaenal Mustafa (terlahir : Hudaemi) mendirikan ponpes Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya pada usia 20 tahun sehingga terkenal sebagai Ajengan Sukamanah. Pada 17 November 1941 ia ditangkap dengan tuduhan menghasut rakyat untuk melawan pemerintah yang sah kemudian ditahan di Tasikmalaya dan keesokan harinya dipindahkan ke Sukamiskin Bandung. Dilepaskan sebentar dan pada Februari 1942 ditangkap lagi dan dipenjarakan di Ciamis. Ia dibebaskan Jepang setelah Belanda menyerah tanpa syarat 8 Maret 1942. Mustafa menolak tawaran kerjasama dengan Jepang yang disertai imbalan jabatan. Ia pun menolak melakukan saikeirei (membungkuk menghormati Tenno Haika) sehingga timbullah ketegangan dengan Jepang. Ia pun bertekad untuk berjihad melawan Jepang sambil menganjurkan kepada pengikutnya untuk bersiap secara fisik.  Pengikutnya mulai giat mengadakan latihan pencak silat dan menggunakan senjata tajam. Berulang kempetai memintanya datang menghadap dan selalu ditolaknya. Pada 24 F

Jepang dan Umat Islam

 Sebelumnya sudah saya sampaikan bahwa para anggota Tentara Peta (Pembela Tanah Air) yang taat beragama Islam mendapat persoalan selama latihan, karena latihan yang diadakan sering berbenturan dengan waktu sembahyang Asar dan Magrib. Masalah ini dapat dipecahkan setelah pembicaraan dengan ulama Indonesia dan ahli Islam bangsa Jepang. Tetapi yang paling menyinggung perasaan anggota Peta yang taat beragama Islam adalah kebiasaan perwira Jepang bermab uk-mabukan dan juga mendesak prajurit muslim Indonesia agar juga melakukan saikerei (membungkukkan badan dalam-dalam) ke arah istana kekaisaran di Tokyo.   Sebelum itu Haji Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap saikerei (membungkukkan dalam-dalam) kepada Kaisar di Tokyo, karena dianggap bertentangan dengan kewajiban seorang muslim untuk bersembahyang menghadap ke Mekah dan tunduk hanya kepada Tuhan. Akhirnya Jepang sepakat tentang tidak perlunya membungkukkan badan kepada Kaisar pada upacara-upacara keagamaan. Pih

K. H. Abdulwahid Hasyim

  Kyai Haji Hasyim Asyari dijadikan Ketua Masyumi, namun dia tetap tinggal di pesantrennya di Jombang. Yang menjadi ketua efektif adalah putranya, Kyai Haji Abdulwahid Hasyim. Abdulwahid Hasyim berasal dari keluarga ulama. Sejak muda ia menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren; salah seorang gurunya adalah ayahnya sendiri, Kyai Haji Hasyim Asyari. Bersama saudara sepupunya, K.H. Ilyas, Hasyim pertama kali beribadah haji ke Mekah pada tahun 1932. Sepulangnya dari sana, ia terjun dalam gerakan kemerdekaan, dengan memilih jalur pendidikan. Ia bertekad mengadakan perubahan radikal di kalangan pesantren dengan memberi pelajaran bahasa asing, di samping bahasa Arab kepada para muridnya. Abdulwahid Hasyim mulai berorganisasi dengan menjadi anggota NU ranting Cukir, Jombang. Di situ karirnya menanjak hingga menjadi anggota Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) bagian Ma’arif (Pendidikan). Sewaktu berbagai organisasi Islam bersatu membentuk Majlis Islam Ala In

Majelis Syuro Muslimin Indonesia

Pada bulan Oktober 1943, Jepang membubarkan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) dan membentuk federasi lain dengan nama Masyumi. Alasan pembubaran MIAI adalah karena dikhawatirkan MIAI akan membahayakan Jepang (Purwoko, 2004 : 50). Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan pada tanggal 7 November 1943 di Yogyakarta. Partai ini merupakan gabungan dari partai dan organisasi Islam, yakni PSII (Partai Sarekat Islam Indone sia), Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama), dan menjadi kelanjutan dari organisasi sebelumnya, MIAI, yang didirikan pada tahun 1937. Maksud dari didirikannya Masyumi adalah sebagai penjelmaan kehendak dan cita-cita umat Islam dalam lapangan politik (kenegaraan). KH. Hasyim Asyari, yang pernah ditahan Jepang, dijadikan sebagai Ketua Masyumi, namun tetap tinggal di pesantrennya di Jombang. Yang menjadi ketua efektif adalah putranya, Kyai Haji Wachid Hasyim (1913-1953) (Ricklefs, 2003:419). Masyumi didirikan atas dasar persamaan persepsi dan key

Para Kiyai di Zaman Jepang

Pada bulan September 1942 diselenggarakan konferensi para pemimpin Islam yang menelurkan hasil-hasil yang mengecewakan Jepang. Karena itu Jepang berharap akan menggantikan MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia) dengan partai yang baru. Tetapi para pemimpin Islam tetap ingin mempertahankan MIAI dengan dominasi orang-orang PSII. Jepang mulai berpaling kepada NU dan Muhammadiyah yang memiliki jaringan hingga ke kota-kota kecil dan desa-desa. Pada bulan O ktober 1942, diselenggarakan pertemuan para pemimpin daerah-daerah pendudukan di Tokyo, dan diberitahu mengenai stagnasi di bidang militer sehingga mobilisasi rakyat di daerah pendudukan menjadi prioritas. Kolonel Horie Choso, Kepala Urusan Agama di Jakarta, melakukan perjalanan keliling Jawa, dan mengadakan pertemuan dengan para Kyai pemimpin pondok pesantren. Pesantren dianggap ideal untuk memobilisasi dan mengindoktrinasi para pemuda.  Pada bulan Desember 1942, Horie mengatur agar 32 orang kiyai diterima Gunseikan di

S. M. Kartosuwirjo

  Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo, lahir di Cepu Kabupaten Blora , pada 7 Januari 1905. Ketika masih belajar di NIAS (sekolah dokter di Surabaya), ia tertarik pada gerakan Sarekat Islam (SI) yang dipimpin Haji Oemar Said Tjokroainoto. Ia lalu melepaskan studinya dan menjadi anggota gerakan itu sebagai korektor dan kemudian redaktur harian Utusan Hindia, Surabaya milik SI. Sewaktu keluarga Tjokroaminoto pindah ke Cimahi dan kemudian ke Jakarta, ia ikut pindah. Di Jakarta Kartowuwirjo turut membantu Tjokroaminoto dan Agus Salim mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Sementara itu, kedudukannya dalam partai cepat menanjak. Mula-mula ia duduk dalam Lajnah Tandfidziyah (Badan Eksekutif), lalu menjadi anggota Dewan Partai. Pada zaman Jepang, Kartosuwirjo bekerja pada kantor MIAI (yang kemudian menjadi Masyumi) dan sering menulis di majalah yang diterbitkan organisasi keagamaan itu,   Suara MIAI dan Suara Masyumi. Pada masa Revolusi ia sempat diminta untuk duduk dalam Kabinet Amir Sjarifuddi

Perpecahan di Tubuh PSII

Setelah Aksi Umum yang keras, pada tahun 1932 terjadi perpecahan pada PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), antara kelompok Tjokroaminoto-Agus Salim dan kelompok Sukiman- Suryopranoto. Kelompok Tjokroaminoto-Agus Salim yang menekankan asas agama mendapat tantangan dari kelompok Sukiman-Suryopranoto, yang lebih mengutamakan masalah kebangsaan. Konflik ini memuncak dengan dikeluarkannya kelompok Sukiman dari PSII pada akhir tahun 1932. Pada bulan Mei mereka mendirikan PARII (Partai Islam Indonesia). Sampai tahun 1934, Tjokroaminoto dan Agus Salim masih tetap duduk sebagai pemimpin puncak partai, dan PSII masih memiliki 140 cabang di seluruh Indonesia. Setelah Tjokroaminoto meninggal dunia tahun 1934, perpecahan di tubuh PSII makin menjadi-jadi. Abikusno Tjokrosuyoso naik menggantikan Tjokroaminoto dan memegang kekuasaan tertinggi dalam Lajnah Tanfidhyah, sedangkan Agus Salim memegang Dewan Partai. Hubungan pribadi keduanya kurang mesra, sehingga timbul ketegangan antara mere

Politik Hijrah

  Politik Hijrah Dalam Kongres ke-24   PSII di Surabaya pada   bulan Juli 1938, S.M. Kartosuwirjo berhasil merumuskan asas hijrah untuk PSII.   Menurutnya, hijrah tidak boleh diartikan sebagai non-kooperatif, karena non-kooperatif itu merupakan sikap negatif yang tidak konstruktif. Sebaliknya, hijrah di samping mengandung sikap penolakan sebagai non-kooperatif, juga mencakup usaha sekuat-kuatnya untuk membentuk kekuatan hebat menuju Darul Islam. Jadi hijrah merupakan sikap positif dan penyelenggaraan politik hijrah merupakan sikap yang positif pula. Penyelenggaraan   politik hijrah dalam PSII diserahkan kepada SM Kartowuwirjo, sementara ketua Dewan Partai dan ketua Lajnah Tanfidhyah masing-masing diduduki oleh W. Wondoamiseno dan Abikusno Tjokrosujoso. Sukiman dari PARII (pecahan dari PSII) menuntut PSII dibersihkan dari   politik hijrah Kartosuwirjo. Dia juga menuntut PSII semata-mata sebagai organisasi politik, dan PSII mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai terhadap Muha