Langsung ke konten utama

Slogan "Lebaran di Bandung"

 

Setelah perintah mundur dari Panglima Divisi III Kolonel  A.H. Nasution dikeluarkan, seluruh kekuatan TRI dan pejuang keluar dari kota Bandung. Lokasi markas dipilih seadanya karena waktu yang singkat (Sitaresmi dkk., 2002 : 137).

 Setiap pasukan membangun pertahanan di selatan Bandung. Markas Divisi bertempat di jalan lintang antara Kulalet-Cangkring, Baleendah. Resimen Pelopor pimpinan Soetoko di sebelah barat dan Resimen 8 pimpinan Letkol Omon Abdurrahman serta MDPP di sebelah timur (Nasution, 1990 : 232). Sementara itu, seluruh Batalyon yang berada di bawah kendali Resimen 8 menempati tempat masing-masing. Batalyon 1 ke Dayeuhkolot, Batalyon 2 ke Cilampeni, Batalyon 3 ke Ciwidey (Suparyadi, 4 Maret 1997). Badan badan perjuangan membuat markas di Ciparay (Djadjat Suraatmadja, 8 September 1977).

Setelah ditinggalkan penduduk pada tanggal 24 Maret 1946, keesokan harinya, pagi pagi sekali , tentara Inggris yang tergabung dalam Divisi ke-23, mulai bergerak memasuki kota Bandung bagian timur dan bagian selatan. Pada tanggal 25 Maret 1946 Laksamana Mounbatten berkunjung ke Bandung menjumpai para prajurit Inggris (Bandoeng beeld van een stad, 1996).

Tiga hari setelah penduduk dan para pejuang meninggalkan kota Bandung, pada tanggal 27 Maret 1946, tentara Inggris menyerang kedudukan TRI dengan meriam dari Dayeuhokot ke selatan dan diulangi keesokan harinya.

Para pejuang, sesuai perintah Komandan Divisi III , melakukan perlawanan dengan aksi-aksi pencegatan terhadap konvoi Inggris, antara lain di jalan antara Cianjur dan Rajamandala. Para pejuang yang bertugas di daerah Lembang dan Cisarua berhasil merebut kembali daerah Cikole, Cianter dan Lembang. Tentara Ingris terdesak hingga ke daerah peneropongan bintang  (Edi  S. Ekadjati, 1981 : 241-244). Para pejuang di Bandung Selatan biasanya melakukan serangan pada malam hari. Mereka menyusup ke kota Bandung melalui pematang-pematang sawah di pinggiran kota. Setelah bertempur dengan NICA mereka mundur ke markas mereka di Cilampeni, atau Dayeuhkolot.  Para pimpinan TRI di Jawa Barat berharap gerakan ini akan memucak di Bulan Puasa sehingga muncul slogan “Lebaran di Bandung” (Nasution, 1990 : 242).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenis Puasa

"So eat and drink And cool (thine) eye. And if thou dost see Any man, say, I have Vowed a fast to (Allah) Most Gracious, and this day Will I enter into no talk With any human being." JENIS PUASA Dalam pemahaman kebanyakan individu muslim, berpuasa adalah menahan diri dari makan atau minum sejak fajar terbit hingga matahari terbenam. Dalam bahasa Al-Qur'an disebut "khayth abyadh" (benang putih) dan "khayth aswad" (benang hitam). Rasulullah SAW membatasi rentang puasa yang wajib bagi seorang muslim selama bulan Ramadan dalam sabdanya : "Jika malam menjelang, siang berganti, dan matahari terbenam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka." Ibadah puasa bukan saja menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menghindari dusta, mengumpat dan berjanji palsu. Apabila seseorang berlaku buruk, seseorang yang berpuasa cukup mengatakan, "Demi Tuhanku, aku sedang berpuasa." Demikianlah Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya. Rasulullah S

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) di Banyumas.