"Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat
kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula
pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah
permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia
minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar
Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam
pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato
mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka
tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka.
Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia
ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada
Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk
di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal
ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi
lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada
tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan
,,merdeka”.
Merdeka buat saya ialah: “political independence, p o l i t i e k e o
n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakanpolitieke
onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya
banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan didalam
bahasa asing, ma’afkan perkataan ini – ,,zwaarwichtig” akan perkara yang
kecil-kecil. “Zwaarwichtig” sampai -kata orang Jawa- “njelimet“.
Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah
mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah
kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah
derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi
Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika
merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya
merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara
merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai,
sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa
Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui,
yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu
ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia,
rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum
bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh
orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula – jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat –
Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat
soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah
rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis;
bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller,
tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin
mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan
negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita
kemukakan!
Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya
membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan
sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal
ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan
mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia
merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, – sampai
dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ’33 saya
telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama ,,Mencapai Indonesia
Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun ’33 itu, telah saya katakan, bahwa
kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak
lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s. Saya
katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita
sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, – in one night
only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi
Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang!
Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn saud, maka di seberang
jembatan, artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki
masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar
membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang
badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih
tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum
tani, – semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah
mempunyai Djnepprprostoff (suatu kawasan industri di mana terdapat
bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun
pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian
Soviet Rusia (ket. – LSSPI), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia
telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah
mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia
merdeka t e l a h dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang
terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah,
Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru
mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff !
Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah
tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu
lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru
kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, –
jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2
milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2
milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui
sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan
Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun
yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan
sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA
MERDEKA SEKARANG“. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e
k a r a n g, s e k a r a n g , s e k a r a n g ! (Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia
merdeka, – kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara
-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political
independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan
ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat
sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka
dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro,
atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau
umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada
sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence,
politieke onafhankelijkheid, – in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan:
Indonesia merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai
Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah
saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu
dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan
negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai
Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita
tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun
kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia,
Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang
s a m a, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya.
Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika
sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis.
Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi
manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan
darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu
telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun
dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati,
mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia
adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia.
Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya
bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin,
ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin,
tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah
ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur
yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah
mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah
saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah
mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu ,,meja-makan”, lantas satu
zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara
Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu
periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang
klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur:
kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat
tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih
gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat
tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya
mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa).
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya. Samiun kawin dengan satu tikar
dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah
mempunya gerozilver satu kaset, plus kinder-uitzet, --buat 3 tahun
lamanya!
(tertawa).
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka
atau tidak? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang
mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya
bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya
mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala
menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau
tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan.
Saudara-saudara, jika tiap – tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini
lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai
political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum
dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di
dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di
dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saudi memerdekakan rakyat Arabia
satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka –
kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita
bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak
dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu.
"Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi
kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdekaitulah kita menyehatkan
rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan
segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan
menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih
pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita
menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan
"jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas , inilah, baru kita
leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat,
sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian!
Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita
mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara,
bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional,
menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu
negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang
menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang
teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara.
Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui
oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah
bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak
peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh
atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat
suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada
pemerintahnya, – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu
1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa
tidak? Mau merdeka atau tidak?
(Jawab hadirin: Mau!)
Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan tentang hal "merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan
Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar , minta
philosophischegrondslag , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan
yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
“Weltanschauung“, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka,
dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu
“Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas
“national-sozialistische Weltanschauung“, – filsafatnasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler
itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu “Weltanschauung”, yaitu
Marxistische, Historisch-materialistische Weltanschaung. Nippon
mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu “Weltanschauung“, yaitu
yang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin“. Diatas “Tennoo Koodoo Seishin”
inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan
negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan diatas satu dasar
agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua
yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan
di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka
datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk
mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja mati-matian untuk
me”realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu,
sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila
beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan
dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya,
walaupun menurut perkataan John Reed: “Soviet-Rusia didirikan didalam 10
hari oleh Lenin c.s.”, – John Reed, di dalam kitabnya: ” Ten days that
shook the world“, “sepuluh hari yang menggoncangkan dunia” -, walaupun
Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi
“Weltanschauung“nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut
kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas“Weltanschauung” yang
sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam
revolutie 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di
“generale-repetitie-kan”.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan
oleh beliau sendiri “generale-repetitie” dari pada revolusi tahun 1917.
Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschaung” itu disedia-sediakan, bahkan
diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan
oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru,
direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung”
yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler
demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan
negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu?
Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau
telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini,
“Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munschener
Putsch“, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau
dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar
“Weltanschauung” yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia
Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah
“Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme?
Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka,
tetapi “Weltanschauung“nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak
salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s
principles” San Min Chu I, – Mintsu, Minchuan, Min Sheng, –
nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun
Yat Sen Weltanschauungitu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau
mendirikan negara baru diatas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang
telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas “Weltanschauung”
apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau
“Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak
pikiran telah dikemukakan, – macam-macam – , tetapi alangkah benarnya
perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita
harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama
mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu
“Weltanschauung” yang k i t a semua setuju. Saya katakan lagi s e t u
j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar
setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang
sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.
Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu
hal yang kita ber-sama – sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak
mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu
golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja
Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu
orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk
memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak!
Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun
saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa
bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan
suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi
“semua buat semua“. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya
kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa,
bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi
Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah:
Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah
dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam
lain: Maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang
Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah
saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama
buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n . Itu bukan berarti satu
kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu
nasionale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden
Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan
berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo
katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun
adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk
tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan
Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan
lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh
sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas
dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah
syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble“, yaitu
kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi
bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa
dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di
dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, disitu ditanyakan: “Was ist
eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus
chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut
Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang
timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarin pun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir
Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata:
“verouderd”, sudah tua. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan
sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab
tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul
satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau
Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”.
Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara
manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat
dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya
sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan
perasaan orangnya, “l”ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter,
tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia
itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air . Tanah air itu
adalah satu kesatuan. Allah S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta
dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana
“kesatuan-kesatuan” disitu.
Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat
menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta
itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2
lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2
benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat
mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes,
Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil
diantaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa
pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai
“golf breker” atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu
kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di
Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya.
Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris
adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai
kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah S.W.T. demikian rupa. Bukan
Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus
Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap
kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita?
Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang
bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau
Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap
kepulauan uang ditunjuk oleh Allah S.W.T. menjadi suatu kesatuan antara
dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara
rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh
Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre
ensembles”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus schiksalsgemeinschaft
erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.
Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa
di Indonesia, yang paling ada “desir d’entre ensemble”, adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa
dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan,
melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk
Yogyapun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya
satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat
Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sundapun
hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu
golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” diatas
daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda,
atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia
yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal di
kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai
ke Irian! S e l u r u h n y a ! , karena antara manusia 70.000.000 ini
sudah ada ” le desir d’etre ensemble“, sudah terjadi
“Charaktergemeinschaft“! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat
Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang
telah menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u !
(Tepuk tangan hebat).
Ke sini lah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat,
diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya
yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat,
baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan“. Ke sini
lah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka
adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen
adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale
staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi
seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang
diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan
Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga
Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka
di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami
nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di
luar dari itu kita tidak mengalaminationale staat. Saya berkata dengan
penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan
beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram,
meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada
Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan
nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung
Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan
satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin
di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa
tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya , yang telah berdiri
dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita
mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan
Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau
lain-lain,tetapi kebangsaan Indonesia , yang bersama-sama menjadi
dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau
akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh
Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan
kebangsaan”.
("Bukan begitu. Ada sambungannya lagi," sahut Liem Koen Hian.)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim
Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga
orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena
mereka memeluk fahamkosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada
kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena
penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa
Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada
bangsa Arab, tetapi semuanya “menschheid“, “peri kemanusiaan”.
Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat
Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya
berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya
dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi
pelajaran kepada saya, – katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi
berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan
sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918,
alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, – ialah Dr
SunYat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s
Principles”, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme
yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah
r a s a k e b a n g s a a n, oleh pengaruh “The Three People’s
Principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa
menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung
Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan
hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen,
– sampai masuk kelobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi …….. tetapi ……….. memang prinsip kebangsaan ini ada b a h a y a n y a !
Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi
chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles“. Inilah bahayanya!
Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai
bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian
kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “My nationalism is humanity“.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan
“Deutschland uber Alles“, tidak ada yang setinggi Jermania, yang
katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa
Aria”, yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain
tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian,
Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan
termulya, serta meremehkan bangsa lain.
Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja
harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula
kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang
nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
“i n t e r n a s i o n a l i m e“. Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak
mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada
Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan
lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini,
saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan
kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara
untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun
golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu
buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak
untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan .
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama.
Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman
saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya
punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak
lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin
membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat,
kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan
pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan
tuntutan-tuntutan Islam. Di sini lah kita usulkan kepada
pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan.
Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya,
agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan
perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau
memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan
jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar didalam
kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap
rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam
ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100
orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar
supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang
Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar
dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin,
jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan
bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat,
sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka
Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru
jikalau demikian, h i d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam
yang hanya di atas bibir saja.
Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam
sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu
maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa
Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena
itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam,
maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu
prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada
perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul
hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak
mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di
dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen,
perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat,
prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara
Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat- hebatnya.
Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam
peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang
masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen, itu adil, – fair
play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak
ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan.
Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam
pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk
membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan
menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara,
prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum
mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak
akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi:
prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng:
nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita
mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang
semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian,
hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara?
Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita
dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat,
di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire
democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika
kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum
kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak
bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang
diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak
lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah
p o l i t i e – k e democratie saja; semata-mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid, — tak ada k e a d i l a n s o s i a l , tidak ada
e k o n o m i s c h e democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean
Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. Di dalam Parlementaire
Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie,
tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p o l i t i e k yang sama,
tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di
dalamparlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean
Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu,
di dalam parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi
di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, – sekarang ia
menjatuhkanminister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya,
dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya
bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni
p o l i t i e k – e c o m i s c h e democratie yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara
tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud
dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin
sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang
pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah
pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang
betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita
terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja
persamaan p o l i t i e k , saudara-saudara, tetapi pun di atas
lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya
kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya
bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang
b e r s a m a d e n g a n m a s y a r a k a t dapat
mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale
rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam
badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita
selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus
terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena
monarchie “vooronderstelt erfelijkheid“, – turun-temurun. Saya seorang
Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat,
maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah
agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun
Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita
mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus
Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat,
meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya,
dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu
saya tidak mufakat kepada prinsip monarchieitu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5 ? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, – atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, – atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip K e t u h a n a n !
Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut
petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya
menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya
ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
“egoisme-agama”. Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r
a yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan
cara yang b e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah h o r m a t – m e n g h o r m a t i s a t u s a m a l a i
n .
(Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun
telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa
prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah K e t u h a n a n y a n
g b e r k e b u d a y a a n , Ketuhanan yang berbudi pekerti yang
luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan
berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia
Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara,
segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat
yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula! Ingatlah,
prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita
mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat
disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r.
Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima
jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa
lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir : Pendawa lima).
Pendawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan,
internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula
bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a
S i l a . Sila artinya azas atau d a s a r , dan di atas kelima dasar
itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuktangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada
saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya
pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung
kita.
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya
namakan s o c i o – n a t i o n a l i s m e . Dan demokrasi yang bukan
demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu
politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n
g a n kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu
saya namakan s o c i o -d e m o c r a t i e. Tinggal lagiketuhanan yang
menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme,
socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga,
ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang
kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang
k i t a s e m u a harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e
m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat
Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, – s em u a b u a t s e m
u a ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi
satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan g o t o ng – r o y o n g . Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara g o t o n g r o y o n g ! Alangkah hebatnya! N e g a
r a G o t o n g R o y o n g !
(Tepuk tangan riuh rendah).
“Gotong Royong” adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis dari
“kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo,
satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b
e r s a m a- s a m a !
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat
bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat
kepentingan semua, k e r i n g a t semua buat kebahagiaan semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuktangan riuh rendah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara
yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan
peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang
saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah
kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah
pancasila?
I s i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya.
Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini,
adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku
telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita
hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa
peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, – di dalam gunturnya
peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah
Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di
dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan
di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang
gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat,
bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah
saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa
pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakannoodmaatregel,
peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka
yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai
dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah
saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak
tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk
membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk
kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk
permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca
Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh
tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah
saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa
tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi
realiteit dengan sendirinya.
Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi r e a l i
t e i t, jika tidak dengan p e r j o an g a n ! Jangan pun
Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan
Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! “De Mensch“, —
manusia! –, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu
tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi
realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak
dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa,
saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder
perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita
agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan
perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit
(tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder
perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula
perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang
termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat
Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang
saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup
menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup
sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan,
ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan
sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan
ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, –janganlah lupa akan syarat untuk
menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi
perjoangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu
perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: D i – d a l a
m Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya
lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita,
bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus
menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan
terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah
dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang
jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, — tidak berani terjun
menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau
bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad mati – matian untuk
mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik
bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan
hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya
berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, — merdeka atau mati”!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara!
Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya
minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah
meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya
telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap
“verschrikkelijk zwaarwichtig” itu.
Terima kasih! "
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadlirin)
(Naskah pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 atau Pidato Bung Karno 1 Juni
1945 tentang lahirnya Pancasila ini bersumber dari buku Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Buku ini terbitan
Sekretariat Negara Republik Indonesia tahun 1995 disunting oleh
Saafroedin Bahar, Ananda B Kusuma dan Nanie Hudawati. Pengantar buku
ini adalah Prof Dr Taufik Abdullah).
Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota baru, serikat-serikat tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000
Komentar
Posting Komentar