Politik Hijrah
Dalam Kongres ke-24
PSII di Surabaya pada bulan Juli
1938, S.M. Kartosuwirjo berhasil merumuskan asas hijrah untuk PSII. Menurutnya, hijrah tidak boleh diartikan
sebagai non-kooperatif, karena non-kooperatif itu merupakan sikap negatif yang
tidak konstruktif. Sebaliknya, hijrah di samping mengandung sikap penolakan
sebagai non-kooperatif, juga mencakup usaha sekuat-kuatnya untuk membentuk
kekuatan hebat menuju Darul Islam. Jadi hijrah merupakan sikap positif dan
penyelenggaraan politik hijrah merupakan sikap yang positif pula.
Penyelenggaraan
politik hijrah dalam PSII diserahkan kepada SM Kartowuwirjo, sementara
ketua Dewan Partai dan ketua Lajnah Tanfidhyah masing-masing diduduki oleh W.
Wondoamiseno dan Abikusno Tjokrosujoso. Sukiman dari PARII (pecahan dari PSII)
menuntut PSII dibersihkan dari politik
hijrah Kartosuwirjo. Dia juga menuntut PSII semata-mata sebagai organisasi
politik, dan PSII mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai terhadap
Muhammadiyah. Karena tuntutan Sukiman ditolak, Sukiman dan kawan-kawannya
membentuk PII pada bulan Desember 1938 dan berpusat di Solo.
Komite Pertahanan Kebenaran
Perpecahan terjadi lagi dalam tubuh PSII, setelah
Kartosuwirjo mempropagandakan politik hijrahnya melalui media massa. Tindakan
ini tidak disetujui oleh partai, yang pada kongresnya yang ke-25 di Palembang
tahun 1940 telah mendukung Aksi Indonesia Berparlemen dari GAPI. Dia juga dipersalahkan
karena sikapnya yang menentang penggabungan PSII ke dalam GAPI. Pada awal tahun
1940, Kartosuwirjo mendirikan badan oposisi yang diberi nama Komite Pertahanan
Kebenarana PSII. Pada tanggal 24 Maret 1940, KPK PSII mengadakan rapat umum di
Malanbong (Garut). Dalam rapat ini dibicarakan perlunya politik hijrah dan akan
diselenggarakannya Suffah, yakni suatu badan untuk mendidik pemimpin-pemimpin
ahli yang yang akan melahirkan pembela-pembela Islam yang militan.
Ketika Jepang mendarat di Jawa, PSII telah terpecah menjadi
ke dalam beberapa partai : Penyedar, PSII Abikusno, PSII Kartosuwirjo dan PII
Sukiman-Wiwoho (Masyhuri, ENI Vol. 7, 2004:254; Korver, 1985; Noer, 1980;
Pluvier, 1953; PrInggodigdo, 1970).
Komentar
Posting Komentar