Langsung ke konten utama

Pemberontakan di Bayu dan Pandrah

 

Rasa benci orang Aceh terhadap Belanda menyebabkan PUSA memihak pada Jepang, dengan harapan Jepang membantu mengusir Belanda dari Indonesia. Oleh sebab itu, saat kolone kelima Jepang yang diberi nama Fujiwara Kikan datang di Aceh, mereka disambut oleh para ulama PUSA meskipun bersifat rahasia.

Pada bulan Februari 1942 meletus pemberontakan melawan Belanda di Seulimeun. Kontrolir Seulimeun, Tegelman, dibunuh pada malam itu. Keesokan harinya tersiar kabar Panglima Polem sudah memberontak, sehingga memberontaklah seluruh Sagi XXII Mukim yang disusul oleh Sagi XXVI Mukim di bawah T. Nyak Arif. Pemberontakan di Aceh Besar itu menelan beberapa korban seperti Van Sperling, kepala eksploitasi A.S.S. (Atjeh Staats Spoorwagon) di kota Sigli.
Dalam keadaan  kosong dari orang-orang Belanda, Jepang kemudian menduduki Kutaradja, dan segera menempatkan Fujiwara Kikan untuk Aceh yaitu Tuan Matsu Buchi. Ia membentuk suatu komite untuk membentuk pemerintahan baru. Orang-orang yang aktif dalam gerakan F (Fujiwara Kikan) ditempatkan dalam pemerintahan. T. Nyak Arif diangkat menjadi Guntyo (Wedana) Kutaraja, panglima Polem menjadi Guntyo Seulimeum, Haji Abubakar Bireun diangkat menjadi Guntyo Bireun, sedangkan ulleebalang-uleebalang lainnya diangkat menjadi Sontyo (Camat).

Setelah Tuan S. Iino selaku Tyokan Aceh Syu (Gubernur Daerah Aceh) datang,  T Nyak Arif diangkat menjadi penasihat Tyokan, T. Hasan Dick, Sontyo Teupin Raya, Pidie, diangkat menjadi Guntyo Kutaraja menggantikan T. Nyak Arif. Panglima Polem diangkat menjadi Kosei Kyokutyo (Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat). Orang Aceh yang  pada zaman enggan menjadi pegawai Belanda dan menolak menjadi serdadu Belanda, di zaman Jepang suka menjadi pegawai pemerintah Jepang dan banyak yang menjadi serdadu Gyugun – semacam Pembela Tanah Air di Jawa. Para ulama bahkan menganjurkan para pemuda masuk  Gyugun. Oleh karena itu para pemuda berbondong-bondong mendaftarkan diri.  Mereka ini sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, memegang peranan penting dalam pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia di Aceh.


(Sudiyono, Eni Vol. 13, 2004: 143-144; Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah,1976; Ismuha, Ulama Aceh Teungku A. Rahman Meunasah Meutjap, 1949; Ismuha, 1969; Jarahdam I, Dua Windu Kodam I / Iskandar Muda 1972; Alfian, The Ulama in Acehnese Society : A Preliminary  Observation, 1975)

Pemberontakan. 
Para ulama tidak menutup mata terhadap kekejaman Jepang . Mulanya mereka melakukan pendekatan dengan pembicaraan dan perundingan, tetapi akhirnya terjadi juga dua kali pemberontakan terhadap Jepang. Pertama, pemberontakan di Bayu pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, pemimpin dayah, dengan 200 orang pengikutnya, yang menghabisi satu kompi tentara Jepang.  Kejadian ini menimbulkan kemarahan Jepang yang segera mengirimkan tentara dengan persenjataan modern dan menewaskan Teungku Abdul Jalil beserta murid-muridnya dan membakar habis masjid dan dayah. Kedua, pemberontakan di Pandrah, Kecamatan Jeunieb pada tanggal 2 Mei 1945, yang terjadi setelah adanya fatwa Teungku Abdul Jalil yang menyatakan bahwa mati melawan Jepang adalah mati sahid. Penyerangan asrama tentara Jepang di Pandrah dipimpin oleh Keutjik Johan, dengan pasukan yang telah dilatih oleh Muhammad Daud mantan anggota Gyugun,  menewaskan dua orang tentara Jepang. Setelah melakukan serangan, mereka bersembunyi di gunung-gunung sekitar. Satu kompi tentara Jepang  dan satu kompi Gyugun dari Bireun, serta tentara Jepang dari Pandrah segera mengejar mereka. Pada tanggal 4 Mei 1945, sesudah salat subuh, para pemberontak turun dari gunung untuk menyerang tentara  Jepang dan Gyugun / Tokubetu-Kei-Satu Tai (polisi istimewa). 104 tentara Jepang dan seorang Indonesia (Guntyo T. Yakub)  tewas terbunuh. Sementara dari pihak pemberontak 44 orang terbunuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...