Langsung ke konten utama

Sukarno Mendarat di Pasar Ikan


Pada bulan Februari 1942, sebulan sebelum Belanda menyerah pada Jepang, Hatta dan Sjahrir dipindahkan dari pembuangan di Banda Neira ke Sukabumi dan kemudian dibebaskan Jepang (Imran, ENI Vol. 6, 2004: 366)

Sementara itu ketika Jepang mendarat di Palembang, Sukarno dilarikan pemerintah Belanda dari Bengkulu ke Padang. Sebagian perjalanan menggunakan mobil selanjutnya berjalan kaki menembus hutan, sementara barang-barang dibawa dengan menggunakan pedati yang ditarik sapi. Belanda hendak melarikan Sukarno ke luar negeri, entah ke Australia atau Suriname. Sesampainya di kota itu bala tentara Jepang masuk dan Sukarno tertahan di Padang. Di Padang Sukarno tinggal di rumah dr. Woworuntu dan kemudian di rumah H. Abdul Latif seorang pedagang kenamaan. Penduduk Padang sempat mengibarkan bendera merah putih karena mereka berpikir Indonesia sudah merdeka.  Nyatanya tentara Jepang menyuruh untuk menurunkan bendera merah putih. 

Saat di Padang, Sukarno juga berkunjung ke Bukittinggi di mana ia menyampaikan pidato dan mendapat sambutan dari rakyat. Di Bukittinggi ia tinggal di rumah dr. M. Yusuf di mana ia bisa menerima orang-orang politik dan utusan dari Jakarta yang memintanya untuk kembali ke Jawa. Kolonel Fujiyama, komandan militer kota Bukittinggi menyampaikan perintah Jenderal Imamura di Jakarta supaya Sukarno berangkat ke Palembang untuk selanjutnya dibawa ke Jakarta. Di Palembang ia disambut oleh dr. A.K. Gani dan kawan-kawannya. Nyatanya penguasa militer kota Palembang tidak membolehkan Sukarno menyebrang ke Jakarta sehingga ia dan keluarganya tertahan sekitar dua bulan di Palembang  di mana ia diminta pihak Jepang untuk membantu meredakan kerusuhan. 

Akhirnya pada bulan Juli 1942 dengan menggunakan perahu motor sepanjang 10 meter Sukarno dan keluarga dan dua ekor anjing peliharaanya sejak dari Ende dibawa menyebrang ke Jawa ditemani empat orang Jepang, termasuk seorang prajurit dan pengawal. Setelah tiga hari berlayar, mereka tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa (Pasar Ikan) Jakarta. Berturut-turut datang Anwar Tjokroaminoto (adik iparnya), Asmara Hadi (menantunya), Hatta, Sartono, Moh. Yamin dan Somad--wartawan harian Pemandangan menyambutnya di pelabuhan.   Saat itu Hatta menyampaikan suatu pertanyaan serius, “Bagaimana pendapat Bung mengenai pendudukan ini ?” Sukarno menjawab, “Jepang tidak akan lama di sini.” (Purwoko, Harsrinuksmo, ENI Vol. 15, 2004 : 319; Ramadhan K.H., Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno, 2002: 280-301)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) ...

Syafruddin Menyerahkan Mandatnya

  Setelah Tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta pada akhir bulan Juni 1949, pada tanggal 4 Juli 1949, utusan Republik yaitu Mohammad Natsir, Dr. Leimena dan    Dr. Halim berangkat ke Bukittinggi untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan tiba di Yogyakarta dari Pulau Bangka. Di lapangan terbang Meguwo mereka disambut para pembesar, rakyat dan anggota UNCI. Sesudah kembalinya pemerintah Republik ke Yogyakarta, pada sidang pertama Kabinet Republik tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin atas nama PDRI menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tanggal 14 Juli 1949, Kabinet Republik Indonesia menerima Persetujuan Roem-Royen. Bantuan Untuk Republik Bantuan untuk Republik Indonesia datang dari Negara Indonesia Timur (NIT). Pertama pada tanggal 11 Juli 1949, NIT memberi sumbangan berupa barang-barang tekstil dan obat-obatan...

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...