Langsung ke konten utama

Perpecahan di Tubuh PSII

Setelah Aksi Umum yang keras, pada tahun 1932 terjadi perpecahan pada PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), antara kelompok Tjokroaminoto-Agus Salim dan kelompok Sukiman- Suryopranoto. Kelompok Tjokroaminoto-Agus Salim yang menekankan asas agama mendapat tantangan dari kelompok Sukiman-Suryopranoto, yang lebih mengutamakan masalah kebangsaan. Konflik ini memuncak dengan dikeluarkannya kelompok Sukiman dari PSII pada akhir tahun 1932. Pada bulan Mei mereka mendirikan PARII (Partai Islam Indonesia).

Sampai tahun 1934, Tjokroaminoto dan Agus Salim masih tetap duduk sebagai pemimpin puncak partai, dan PSII masih memiliki 140 cabang di seluruh Indonesia. Setelah Tjokroaminoto meninggal dunia tahun 1934, perpecahan di tubuh PSII makin menjadi-jadi.

Abikusno Tjokrosuyoso naik menggantikan Tjokroaminoto dan memegang kekuasaan tertinggi dalam Lajnah Tanfidhyah, sedangkan Agus Salim memegang Dewan Partai. Hubungan pribadi keduanya kurang mesra, sehingga timbul ketegangan antara mereka. Ketegangan ditambah oleh masalah kooperatif dan non-kooperatif dalam PSII. Dalam kongres tahun 1935, Agus Salim mengusulkan supaya PSII meninggalkan asas non-kooperatif. Sebaliknya, Abikusno dan SM Kartosoewirjo mempertahankan politik non-kooperatif.

Dalam kongres tahun 1936 masalah ko dan non-ko ini menjadi topik utama namun tidak mendapatkan jalan keluar. Abikusno ditunjuk sebagai formatur sehingga kepengurusan partai dikuasai tokoh-tokoh pro Abikusno. Agus Salim kecewa dan segera mengundurkan diri dari kepemimpinan partai.

Pada bulan November 1936 Agus Salim dan pendukungnya membentuk komite oposisi di Jakarta yang disebut Barisan Penyedar PSII dengan Mohammad Rum sebagai ketuanya. Dengan alasan pelanggaran peraturan partai, mereka pun dipecat pada tanggal 13 Februari 1937. Tidak kurang 29 tokoh terkemuka PSII dikeluarkan dari partai seperti Agus Salim, Rum, Sangaji, dan Syamsudin.(Masyhuri (2004), Korver (1985), Noer (1980), Pluvier (1953), Pringgodigdo (1970)).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s