Pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya berdiri Majelis
Islam A'laa Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi perhimpunan Islam.
Prakarsanya datang baik dari tokoh tokoh NU seperti Abdul Wahab dan tokoh-tokoh
Muhammadiyah seperti K.H. Mas Mansur dan K.H. Akhmad Dahlan. Beberapa
orgaisasi lokal juga hadir dalam pembentukan MIAI.
Tujuan pembentukan federasi adalah untuk mengeratkan hubungan antara
organisasi-organisasi Islam Indonesia dengan kaum Islam di luar Indonesia dan
mempersatukan suara-suara untuk membela keluhuran Islam. Prakarsa ini didorong
oleh dua kenyataan. Pertama, usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada waktu
itu masih berserakan dan karena itu persatuan sangat diperlukan dalam kerangka
perjuangan melawan Belanda. Adanya friksi dalam bidang politik dan perbedaan
paham dalam soal khilafiyah di kalangan umat perlu dibenahi di atas dasar
semangat persaudaraan. Kedua, adanya contoh yang kompetitif dari
golongan nasionalis sekuler yang juga berusaha mempersatukan dirinya. Persatuan
lewat MIAI dipandang cukup memberi harapan pada waktu itu.
Untuk tujuan tersebut, MIAI menyelenggarakan kongres-kongres.
(1) Kongres al Islam I pada 26 Februari- Maret 1938. Kongres tidak hanya
dihadiri oleh organisasi keagamaan tetapi juga oleh wakil-wakil dari Parindra
dan Taman Siswa. Pada kongres pertama ini dibahas artikel Siti Sumandari pada
majalah Bangun milik Parindra, yang berisi penghinaan kepada Nabi Muhammmad SAW
terkaik soal perkawinan. Kongres meminta pemerintah mengambil tindakan terhadap
Siti. Parindra meminta maaf atas terbutnya artikel Siti tersebut. Kongres juga
menuntut pemerintah menghapus bea potong hewan kurban. Selain itu menyeru agar
organisasi Islam memberi pelajaran agama Islam kepada para transmigran dari
Jawa. Kongres juga menolak pemindahan penyelesaian waris dari pengadilan agama
ke pengadilan biasa (landraad).
(2) Pada tanggal 2-7 Mei 1939 MIAI mengadakan kongresnya yang kedua, yang
dihadiri oleh 25 organisasi. Kongres ini menekankan perlunya perbaikan soal
perkawinan di Indonesia, dan memutuskan untuk memberi penerangan kepada
wanita-wanita Indonesia agar kebiasaan selir dapat dihilangkan. Kongres juga
memberi kepercayaan kepada Jong Islamieten Bond untuk mempersatukan pemuda
Islam.
(3) Kongres ketiga diadakan di Solo pada tanggal 7-8 Juli 1941, yang menekankan
perbaikan pengumpulan zakat fitrah dan membentuk sebuah komisi dengan pimpinan
Haji Abdurrahman Sjihab dengan Jamiatul Wasliahnya untuk keperluan penyebaran
Islam di Medan. Kongres juga membahas masalah naik haji ke Mekah sehubungan
dengan adanya ancaman perang.
Pada tahun 1939 MIAI menyatakan setuju terhadap tuntutan Indonesia Berparlemen
dari GAPI asalkan berdasarkan undang-undang Islam. Tentang susunan kenegaraan
Indonesia, pada tahun 1941 MIAI menghendaki 2/3 jabatan mentri untuk orang
Islam dan harus ada kementrian agama. Sementara bendera merah putih harus
disertai lambang bulan bintang. MIAI juga turut duduk dalam Majelis
Rakyat Indonesia dan mendukung maklumat MRI agar memberi bantuan penuh pada
penerintah dalam mempwrtahankan ketertiban dan keamanan umum. Maklumat MRI
mempersilahkan pemerintah agar bersama kaum pergerakan membentuk susunan
masyarakat yang berdasarkan demokrasi politik, ekonomi dan sisial bagi nusa dan
bangsa.
Pada rapat yang diselenggarakan tanggal 4 September 1942, Jepang menerima MIAI
menjadi wakil umat Islam dan menempatkan tiga orang pejabat mereka dalam Dewan
Pengawas. Jepang membubarkan MIAI pada bulan Oktober 1943 dan menggantinya
dengan Masyumi (Purwoko, 2003: 49-50).
Komentar
Posting Komentar