Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo, lahir di Cepu Kabupaten
Blora , pada 7 Januari 1905. Ketika masih belajar di NIAS (sekolah dokter di
Surabaya), ia tertarik pada gerakan Sarekat Islam (SI) yang dipimpin Haji Oemar
Said Tjokroainoto. Ia lalu melepaskan studinya dan menjadi anggota gerakan itu
sebagai korektor dan kemudian redaktur harian Utusan Hindia, Surabaya milik SI.
Sewaktu keluarga Tjokroaminoto pindah ke Cimahi dan kemudian ke Jakarta, ia
ikut pindah. Di Jakarta Kartowuwirjo turut membantu Tjokroaminoto dan Agus Salim
mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Sementara itu, kedudukannya dalam partai
cepat menanjak. Mula-mula ia duduk dalam Lajnah Tandfidziyah (Badan Eksekutif),
lalu menjadi anggota Dewan Partai.
Pada zaman Jepang, Kartosuwirjo bekerja pada kantor MIAI
(yang kemudian menjadi Masyumi) dan sering menulis di majalah yang diterbitkan
organisasi keagamaan itu, Suara MIAI dan
Suara Masyumi. Pada masa Revolusi ia sempat diminta untuk duduk dalam Kabinet
Amir Sjarifuddin I sebagai Menteri Muda II Pertahanan, tetapi ia menolak.
Setelah Indonesia merdeka, Kartosuwirjo menjadi anggota
pengurus besar partai Islam, Masyumi. Ia kemudian ditunjuk mewakili partai ini
dalam KNIP. Ketika terjadi Clash I Clash II, Kartowuwirjo giat bergerilya di
daerah Jawa Barat. Ketika pasukan RI harus hijrah akibat perjanjian Renville,
ia mulai merasa dikhianati oleh RI. Maka ia memproklamasikan Negara Islam
Indonesia, lengkap dengan Tentara Islam Indonesia, lengkap dengan Tentara Islam
Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI).
Darul Islam berkembang menjadi gerombolan pengacau, karena
dalam praktiknya gerombolan ini justru
menyebarkan malapetaka dan kekacauan di kalangan masyarakat. Para anggotanya
merampok, membunuh, memperkosa, dan melakukan tindak kejahatan lainnya,
sehingga gerakan ini memiliki konotasi sangat negatif. Bahkan beberapa kali
gerombolan ini melakukan usaha pembunuhan terhadap presiden Sukarno. Situasi
ini dimanfaatkan oleh PKI untuk menghantam lawan politiknya, Masyumi, yang
selalu dikaitkan dengan DI, meskipun Kartosuwirjo sudah melepaskan diri dari
partai itu.
Dengan operasi terus menerus pemerintah RI mampu
mempersempit kegiatan DI. Dengan gerakan Pagar Betis, Kartosuwirjo beserta
keluarga dan beberapa pengikutnya dapat ditangkap. Ia dihadapkan ke Mahkamah Militer
dan dijatuhi hukuman mati (Soebagijo IN, ENI Vol. 8, 2004 : 199).
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.
Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan politik untuk lepas dari Republik Indonesia di Desa Cisampah Kecamatan Ciawiligar Kawedanan Cisayong Tasikmalaya Jawa Barat. Saat itu Kartosuwirjo memiliki pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang beranggotakan sekitar 4.000 orang, mereka terdiri atas pasukan Hizbullah dan Sabililah. (Perlu dicatat bahwa tidak semua pasukan Hizbullah bergabung dengan TII. Mudah-mudahan saya bisa menulis mengenai hal ini di kesempatan lain).
Soekarno kemudian mengirimkan tentara dari Divisi Siliwangi dan satuan-satuan lain untuk menumpas gerakan Kartosuwirjo. Perlawanan Kartosuwirjo berakhir setelah dia ditangkap pasukan Indonesia— Suhanda seorang prajurit Siliwangi-- di wilayah Gunung Rakutak, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tanggal 4 Juni 1962. Pada tanggal 16 Agustus 1962 ia divonis mati oleh Pengadilan Militer. Pada tanggal 5 September 1962 dieksekusi mati dan jasadnya dimakamkan di Pulau Ubi, wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, pada usia 57 tahun .
Ribuan pengikut Kartosoewirjo mendapat amnesti dari pemerintah termasuk 32 petinggi dari sayap militer. Mereka menyerah pada tanggal 1 Agustus 1962, dan menyatakan ikrar kesetiaan yang isinya antara lain : “Demi Allah, akan setia kepada pemerintah RI dan tunduk kepada UUD 1945.”
Komentar
Posting Komentar