Kyai
Haji Hasyim Asyari dijadikan Ketua Masyumi, namun dia tetap tinggal di
pesantrennya di Jombang. Yang menjadi ketua efektif adalah putranya,
Kyai Haji Abdulwahid Hasyim.
Abdulwahid
Hasyim berasal dari keluarga ulama. Sejak muda ia menuntut ilmu di
berbagai pondok pesantren; salah seorang gurunya adalah ayahnya sendiri,
Kyai Haji Hasyim Asyari. Bersama saudara sepupunya, K.H. Ilyas, Hasyim
pertama kali beribadah haji ke Mekah pada tahun 1932. Sepulangnya dari
sana, ia terjun dalam gerakan kemerdekaan, dengan memilih jalur
pendidikan. Ia bertekad mengadakan perubahan radikal di kalangan
pesantren dengan memberi pelajaran bahasa asing, di samping bahasa Arab
kepada para muridnya.
Abdulwahid
Hasyim mulai berorganisasi dengan menjadi anggota NU ranting Cukir,
Jombang. Di situ karirnya menanjak hingga menjadi anggota Pengurus Besar
Nahdatul Ulama (PBNU) bagian Ma’arif (Pendidikan). Sewaktu berbagai
organisasi Islam bersatu membentuk Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI)
pada tahun 1937, ia terpilih menjadi salah satu ketuanya bersama K.H.
Mas Mansyur dari Muhammadiyah, Wahudum Wondoamiseno dari PSII dan Abdul
Gafar Ismail dari Partai Islam Indonesia.
Di
zaman Jepang, ketika menjadi ketua Masyumi dan anggota Chuo Sangi-in
(Dewan Pertimbangan Pusat) di Jakarta, Hasyim berusaha keras membebaskan
ayahnya yang ditahan Kenpetai. Salah satu syarat pembebasan itu adalah
pembubaran Pondok Pesantren Tebuireng. Hasyim tentu saja keberatan,
tetapi demi membebaskan ayahnya, ia merelakan pembubaran PP Tebuireng.
Menjelang
proklamasi kemerdekaan, bersama para pemimpin Indonesia lainnya,
Abdulwahid Hasyim ikut menandatangani Piagam Jakarta. Pada bulan
November 1945, ia dan Mohammad Natsir mengadakan Kongres Umat Islam
Indonesia yang pertama setelah proklamasi. Kongres memutuskan untuk
mendirikan partai dengan nama Masyumi juga. Para peserta kongres
berikrar bahwa Masyumi (yang bukan kependekan dari Majelis Syuro Muslimin
Indonesia), sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia.
Abdulwahid Hasyim duduk sebagai salah satu ketua mendampingi Dr. Sukiman
dan tokoh-tokoh Islam lainnya.
Pada
tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai
politik yang berdiri sendiri. Kala itu di dalam pemerintahan Kabinet
Sukiman-Suwiryo, Abdulwahid Hasyim menjabat Menteri Agama sebagai wakil
Masyumi.
Abdulwahid
Hasyim meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas Jakarta-Bandung.
Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan kemudian dimakamkan di PP Tebuireng,
Jombang (Soebagijo I.N., 2004 : 356-357).
Salah seorang putra Abdulwahid Hasyim, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menjadi Presiden Keempat RI.
Komentar
Posting Komentar