Langsung ke konten utama

Piagam Jakarta

Setelah pidato Ir. Sukarno, Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman, memutuskan untuk membentuk Panitia Kecil dengan tugas menyusun rumusan tentang Dasar Negara yang dapat disetujui oleh golongan Nasionalis Religius dan Islam Nasionalis dengan pidato Ir. Sukarno sebagai bahan utama ditambah usul dari semua anggota BPUPKI yang mengajukannya. Tugas harus diselesaikan pada masa sidang kedua BPUPKI, tetapi Ir. Sukarno mengambil inisiatif untuk menyelesaikannya pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menghasilkan Mukadimmah / Piagam Jakarta / Gentlemen’s Aggreement.

Panitia Kecil yang dibentuk secara resmi oleh BPUPKI terdiri dari delapan orang yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Oto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasjim. Sedangkan Panitia Kecil yang tidak resmi terdiri dari 9 orang, yaitu : Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. A. Maramis, Mr. A. Soebardjo, K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan R. Abikoesno Tjokrosoejoso.

Pada tanggal 22 Juni 1945, Ir. Soekarno mengadakan Sidang Panitia Kecil yang dihadiri oleh 38 anggota Cuo Sangi In yang merangkap menjadi anggota BPUPK dan anggota BPUPKI yang bertempat tinggal di Jakarta. Hasilnya adalah Piagam Jakarta.

PIAGAM JAKARTA

 “Bahwa sesoenggoehnya kemerdekaan itoe ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itoe maka penjajahan di atas doenia harus dihapuskan, karena tidak sesoeai dengan peri-kemaknoesiaan dan peri-keadilan.

Dan perjoeangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakjat Indonesia ke-depan pintoe-gerbang Negara Indonesia,yang merdeka, bersatoe, berdaoelat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan yang loehoer, soepaja berkehidoepan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannja.

Kemoedian daripada itoe, oentoek membentoek soeatoe Pemerintah Negara Indonesia jang melindoengi segenap Bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itoe dalam suatu Hoekoem Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam soeatoe soesoenan negara Repoeblik Indonesia jang berkedaaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja; menoeroet dasar kemanoesiaan jang adil dan beradab; persatoean Indonesia; kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/perwakilan; serta dengan mewoejoedkan keadilan sosial bagi seloeroeh Rakjat Indonesia.

Djakarta, 22-6-1945

Ir. Soekarno
Drs. Moh. Hatta
Mr. M. Yamin
Mr. A. Maramis
Mr. A. Soebardjo
K.H. Wachid Hasjim
K.H. Kahar Moezakkir
H. Agoes Salim
R. Abikoesno Tjokrosoejoso"

Ir. Sukarno meminta maaf atas pekerjaannya yang menyimpang dari “formaliteit”, tetapi hasilnya diterima oleh sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945  (Kusuma, 2004 : 167-171  ).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s