Sebelumnya sudah saya sampaikan bahwa para anggota Tentara Peta
(Pembela Tanah Air) yang taat beragama Islam mendapat persoalan selama
latihan, karena latihan yang diadakan sering berbenturan dengan waktu
sembahyang Asar dan Magrib. Masalah ini dapat dipecahkan setelah
pembicaraan dengan ulama Indonesia dan ahli Islam bangsa Jepang. Tetapi
yang paling menyinggung perasaan anggota Peta yang taat beragama Islam
adalah kebiasaan perwira Jepang bermabuk-mabukan
dan juga mendesak prajurit muslim Indonesia agar juga melakukan
saikerei (membungkukkan badan dalam-dalam) ke arah istana kekaisaran di
Tokyo.
Sebelum itu Haji Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap saikerei (membungkukkan dalam-dalam) kepada Kaisar di Tokyo, karena dianggap bertentangan dengan kewajiban seorang muslim untuk bersembahyang menghadap ke Mekah dan tunduk hanya kepada Tuhan. Akhirnya Jepang sepakat tentang tidak perlunya membungkukkan badan kepada Kaisar pada upacara-upacara keagamaan.
Pihak Jepang juga menginginkan agar Perang Dunia II dinyatakan sebagai Perang Sabil, yang dengan tegas ditolak oleh kaum muslim karena orang-orang Jepang, seperti halnya Sekutu, adalah kaum kafir, sehingga peperangan atas nama mereka tidak dapat disebut Perang Sabil.
Pada akhir tahun 1942, pihak Jepang melarang penggunaan bahasa Arab, tetapi akhirnya bahasa Arab tetap digunakan, dengan syarat bahwa bahasa Jepang juga diajarkan di sekolah-sekolah Islam dan bahwa sekolah-sekolah Islam menggunakan kurikulum non agama yang dibuat Jepang. Sementara itu Goeroe Ordonnantie (Peraturan Guru) tahun 1925 buatan Belanda tetap dipertahankan Jepang. Sekolah-sekolah Islam modernislah yang paling terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan ini.
Berbeda dengan politisi Islam modernis di kota-kota dan pihak Jepang yang kecewa, para kyai di wilayah pedesaan Jawa tampak lebih menyetujui akan rencana-rencana pihak Jepang. Kombinasi disiplin fisik, militer dan rohani orang-orang Jepang menyentuh perasaan yang responsif di kalangan masyarakat pesantren.
Pada bulan Juli 1943 pihak Jepang membawa kelompok-kelompok kyai yang berjumlah sekitar enam puluh orang ke Jakarta untuk mengikuti kursus-kursus dan latihan selama sebulan . Sampai bulan Mei 1945, lebih dari seribu orang kyai telah menyelesaikan kursus-kursus tersebut. Selain mendengarkan kuliah mengenai masalah-masalah agama, mereka utamanya diindoktrinasi dengan propaganda Jepang.
Upaya MIAI untuk mengorganisir mereka dihalangai Jepang (Ricklefs, 2003 :416-417).
Komentar
Posting Komentar