Langsung ke konten utama

Sukarno Diasingkan ke Bengkulu

Saat dalam pembuangan di Ende, Sukarno terserang malaria. Berita tentang sakitnya Sukarno menimbulkan kehebohan di Jakarta dan menjadi pembicaraan di Volksraad. Thamrin mengajukan protes dan mengatakan bahwa kalau sampai Sukarno meninggal di Ende karena sakitnya, maka pemerintah Hindia Belanda harus bertanggungjawab. 

Protes Thamrin itu mendapat perhatian. Pada awal tahun 1938 Sukarno dipindahkan dari Ende, Flores ke Sumatra, tepatnya ke Bengkulu. Dari Ende, Sukarno dan keluarganya naik kapal De Klerk ke Surabaya. Dari Surabaya menggunaan kereta api menuju Jakarta. Dari Jakarta dibawa dengan kereta api ke Merak kemudian menyebrang ke Sumatra dengan kapal Sloet van den Beele. 

Di Bengkulu Sukarno menjadi anggota Muhammadiyah dan selanjutnya menjadi ketua bidang pengajaran. Ketika itu ia banyak menyumbangkan artikel mengenai ke-Islaman kepada majalah Pandji Islam milik organisasi tersebut. Artikel-artikel ke-Islaman Bung Karno dimuat ulang dalam DBR I. Dari artikel-artikel itu banyak orang menilai Bung Karno sebagai pemikir Islam yang progresif yang mendahului zamannya. Untuk ukuran hari inipun tulisan-tulisan Bung Karno tetap relevan dan menohok (Purwoko, Harsrinuksmo, ENI Vol. 15, 2004: 313; Ramadhan K.H., Kuantar ke Gerbang, 2002: 246-253). 

Untuk ukuran hari inipun tulisan-tulisan Bung Karno tetap relevan dan menohok. Belakangan, Syekh Panji Gumilang dari Pondon Pesantren Al Zaytun bahkan menyatakan bermadzab Bung Karno.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dal...

Sukarno dan Empat Ulama Tasawuf

Pemilihan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia selain karena pandangan mistik Sukarno secara pribadi, nampaknya juga dipengaruhi oleh pandangan sufistik para ulama. Fakta ini diungkapkan oleh Kyai Moch. Muchtar bin Alhaj Abdul Mu’thi di Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah di Losari, Ploso, Jombang, Jawa Timur. Menurut beliau,  kurang lebih lima bulan sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno mencari ulama tasawuf yang mempunyai tingkat mukasyafah atau inkisyaf. Sukarno berhasil menemukan empat orang ulama tasawuf yaitu : Syeikh Musa Sukanegara (Ciamis), K.H. Abdul Mu’thi (Madiun), Sang Alif atau R. Sosrokartono (Bandung), dan K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Cukir (Jombang). Kesimpulan dari pertemuan Sukarno dengan keempat ulama tasawuf tersebut adalah : “Tidak lama akan ada berkat rahmat Allah besar turun di Indonesia, di bulan Ramadan, tanggal 9 tahun 1364 H, hari Ju...

Soedirman Diangkat Sebagai Panglima Besar

            Pada 18 Desember 1945, Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia (indonesiamandiri.id). Panglima Tentara Keamanan Rakyat yang resmi dan sudah ditunjuk pemerintah saat itu adalah Soepriyadi. Soepriyadi dikenal sebagai pemimpin gerakan pemberontakan PETA di Madiun. Masalahnya, sejak ditunjuk sampai dengan merdeka, dan situasi tentara dalam krisis kepemimpinan, Soepriyadi ini tidak pernah tampil. Belakangan diduga ia tewas terbunuh oleh tentara Jepang. Pemerintah Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Soetan Syahrir pun meminta haru...