Langsung ke konten utama

M. Daud Beureuh

 

M. Daud Beureuh sebagai Hoofdbestuur P.Oe.S.A ( PUSA)
Pada tulisan sebelumnya sudah saya sampaikan kepada para sahabat yang budiman bahwa dalam musyawarah yang diadakan di Matanggelumpang Dua pada tanggal 5 Mei 1939 secara bulat disepakati pendirian Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh disingkat P.Oe.S.A yang selanjutnya ditulis PUSA dengan kepengurusan sebagai berikut :  Ketua I Teungku M. Daud Beureuh, Ketua II Teungku Abd. Rahman Meunasah Meucap; Setia Usaha I Teungku M. Nur Ibrahimy, Setia Usaha II Teungku Ismail Yakub; Bendahara T.M. Amin; Komisaris masing-masing Teungku  Abd. Wahab Keunaloe Samalanga , Teungku Syeikh Haji  Abd. Hamid Samalanga, Teungku  Usman Lampoh Awe, Teungku Yahya Baden Peudada, Teungku Mahmud Simpang Ulin, Teungku Ahmad Damanhuri Takengon, Teungku M. Daud dan Teungku Usman Azis Lho’ Sukon. Sesuai Anggaran Dasarnya, Hoofdbestuur berkedudukan di tempat kedudukan Ketua I dan Setia Usaha I. Sigli menjadi tempat kedudukan Hoofdbestuur PUSA (Sudiyono, Eni Vol. 13, 2004: 143-144; Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah,1976; Ismuha, Ulama Aceh Teungku A. Rahman Meunasah Meutjap, 1949; Ismuha, 1969; Jarahdam I, Dua Windu Kodam I / Iskandar Muda 1972; Alfian, The Ulama in Acehnese Society : A Preliminary  Observation, 1975).

M. Daud Beureuh diangkat menjadi Komandan Divisi X
Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, tahun 1948, M. Daud Beureuh diangkat menjadi Komandan Divisi X, Komandemen Sumatra. Pada tahun 1949, Pemerintah RI mengangkatnya menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Karena tidak puas pada pemerintah pusat di Jakarta, pada tahun 1954 ia memberontak. Ia tidak setuju dengan tindakan Presiden Sukarno yang dinilainya memberi angin pada PKI. Berbagai usaha untuk menangkapnya selalu gagal karena para pengikutnya fanatik dan loyal terhadapnya. 

Pada zaman orde Baru, Daud Beureuh banyak membantu pemerintah dalam menjadi stabilitas politik dan keamanan di daerah Aceh (ENI Vol. 3: 2004, 344).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerjasama Serikat Buruh SI-PKI

Antara tahun 1918 dan 1921 serikat-serikat  buruh Indonesia meraih sukses besar dalam meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggota nya. Ini terutama berkat gabungan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga, kurangnya buruh trampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses dari partai-partai politik, terutama dari SI (Sarekat Islam) dan PKI (Partai Komunis Hindia). Kesuksesan serikat-serikat  buruh itu mendorong orang untuk bergabung dengan mereka. Dengan masuknya anggota-anggota  baru, serikat-serikat  tersebut memainkan peranan penting dalam mempolitisasi para pekerja dan dalam memberi kontribusi terhadap pengembangan dan organisasi anti-penjajahan . Dalam Kongres Nasional SI tahun 1919 terlihat bahwa masalah perjuangan kelas telah menjadi pembicaraan utama. Pada bulan Desember 1919 muncul upaya untuk menciptakan suatu federasi dari serikat buruh PKI dan SI yang diberi nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). PPKB terdiri atas 22 serikat dan 72.000

NU

Para ulama Syafi'i di Jawa yang khawatir dengan pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekah membentuk Komite Hijaz. Pada 31 Januari 1926 di Surabaya mereka mendirikan Nahdatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama. Pendirinya adalah Hadratu 'l-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari dan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan Ahlu 'l-Sunnah wa 'l- Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi'i. Dalam kehidupan politik NU ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. NU aktif sebagai anggota Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk di zaman Jepang maupun setelah Indonesia Merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan pada tahun 1952 NU menyusul PSII dan Perti membentuk Liga Mu

Insiden Djawi Hisworo

Menguatnya politik Islam reformis dan sosialisme tidak menyurutkan nasionalisme etnis khususnya nasionalisme Jawa. Menurut Ricklefs, para nasionalis Jawa secara umum tidak menerima Islam reformis dan cenderung melihat masa Majapahit pra Islam sebagai zaman keemasan. Hasil dari pekerjaan arkeologi yang didanai pemerintah, termasuk pembangunan kembali candi-candi pra-Islam yang sangat indah serta penerbitan teks-teks Jawa Kuno oleh para sarjana filologi telah membuat Jawa pra-Islam dikenal baik dan tergambar sebagai titik tinggi peradaban Jawa klasik yang membangkitkan sentimen nasionalis Jawa. Pada tahun 1917, Comité voor het Javaansch Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa) didirikan. Komite ini aktif pada tahun 1918 dengan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (Rekonstruksi).  Kekuatan penuntun utama di balik gerakan ini adalah Kerajaan Mangkunegaran, khususnya Mangkunegara VII (1916-1944). Nasionalisme Jawa dan pembaharuan Islam berbenturan ketika muncul tulisan dalam s