Langsung ke konten utama

Al-Magrib

Pada pemerintahan Abbasiyah telah muncul duwā'ilah (kekuasaan Islam yang kecil-kecil). Untuk mempermudah kontrol, Khalifah Harun ar-Rasyid antara lain membagi wilayah Barat (al-Magrib) dan Timur (al-Masyriq).
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah (750-1258) kawasan Magribi (Barat) berada di wilayah barat Baghdad. Saat diadakan pendataan wilayah-wilayahIslam dan penulisan administrasi pemerintahan, Sungai Tigris merupakan pembatas antara barat dan timur. Baghdad sendiri menjadi pembatas vertikal bagi wilayah Islam. Pembagian wilayah menjadi Magribi dan Masyrik ini terjadi pada tahun 798 (182 H) ketika Khalifah Harun ar-Rasyid membagi wilayah kekuasaannya secara administratif kepada kedua putranya, kakak beradik Al-Amin dan Al-Ma'mun.
Al-Amin memperoleh kawasan bagian barat yang terdiri dari Irak, Syam, Mesir hingga Magribi (Maroko). Al-Ma'mun memperoleh kawasan bagian timur, yakni Persia, Khurasan dan beberapa wilayah lain. Kondisi ini tidak berlangsung lama karena kata Magribi merujuk pada suatu wilayah geografis politik tertentu, yakni mencakup wilayah utara benua Afrika dan tidak termasuk Mesir dan Andalusia (Spanyol).
Pembagian kategori barat dan timur ini sebetulnya dilakukan oleh para sejarawan yang melihat kenyataan bahwa gerakan kemerdekaan wilayah di kawasan barat hampir sama banyaknya dengan di kawasan timur.
Di kawasan barat, gerakan kemerdekaan wilayah terjadi akibat adanya oposisi politis dan teologis terhadap Dinasti Abbasiyah dari golongan Khawarij dalam Dinasti Rustamiah dan perlawanan Syiah dari Dinasti Idrisiiyah di Afrika Utara. Adapun di kawasan timur, gerakan kemerdekaan terjadi karena munculnya getaran kebangsaan (syu'ūbiyyah) yang disebabkan adanya ketidakharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah seperti berdirinya dinasti-dinasti Tahiriah di Khurasan, Tulun di Mesir dan Suriah. Pergantian dinasti-dinasti kecil di kawasan ini diawali dengan adanya upaya untuk meruntuhkan pemerintahan yang zalim. Pemerintahan yang baru kemudian menjanjikan untuk mengembalikan prinsip persamaan dan keadilan tanpa membedakan ras, suku, mazhab atau aliran politik.
Dinasti yang direstui Khalifah Abbasiyah dikepalai oleh Yusuf bin Tasyfin dengan gelar Amir al-Muslimin dan Nasiruddin. Sedangkan dinasti yang tidak tunduk kepada Baghdad menamakan diri mereka sebagai Khalifah atau Amirulmukminin.
Hubungan antara pemerintah pusat dan dinasti yang memisahkan diri dapat digolongkan menjadi dua :
(1). Dinasti yang menyatakan setia kepada khalifah, tetapi tidak mengirimkan hasil pajaknya kepada pemerintah pusat. Musalnya Dinasti al-Murabitun atau al-Mulassimun (pemakai kerudung sampai menutupi wajah di bawah mata) di Maroko. Kemudian Dinasti Tulun, Dinasti Ikhsyid, dan Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
(2) Dinasti yang sejak awal pembentukannya sudah menyatakan tidak tunduk kepada pemerintahan Baghdad. Misalnya Dinasti Rustamiyah (Khawarij), Dinasti Idrisid (Syiah Zaidiah), Dinasti Fatimiah (Syiah Ismailiah) dan Dinasti al-Muwahhidun (gerakan pemurnian Sunni).
Setelah Baghdad runtuh pada 1258, banyak dinasti tumbuh. Dinasti Marrin di Maroko, Dinasti Hafsiyah di Tunisia dan Mamluk di Mesir.
Hubungan antara muslim barat dan timur adalah hubungan diplomatik, pertukaran informasi dalam bidang peradaban, dan saling membela ketika ada musuh Islam yang akan merongrong wilayahnya. Meski sebelumnya saling bermusuhan tapi bersatu saat melawan Romawi baik di darat maupun di laut.
Situasi berubah saat terjadi Perang Salib (1096-1291) yang merupakan gerakan penjajahan orang Eropa terhadap kawasan timur Arab. Orang Eropa mengambil alih Baitulmakdis dan Palestina dari Dinasti Fatimiah. Kekuasaan Bani Ummayah di Andalusia dan Magribi runtuh. Muncullah kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasai kabilah-kabilah Arab yang saling bermusuhan. Yusuf bin Tasyfin dari kelompok al-Murabitun dapat menyelamatkan Andalusia dari cengkeraman orang Kristen Spanyol untuk beberapa abad.
DINASTI DI ANDALUSIA
Setelah Dinasti Umayyah runtuh ada sekitar 20 dinasti di Andalusia yang disebut sebagai Mulūk at-Țawā'if (Raja-raja Kelompok). Kelompok ini kemudian ditaklukkan kelompok al-Murabitun (1054-1147). Kelompok al-Murabitun dikalahkan oleh golongan al-Muwahhiddun (1121-1269). Selanjutnya adalah Bani Marrin yang berkuasa di wilayah tersebut. Terakhir adalah Bani Nasr.
Dua kerajaan Kristen di Spanyol berhasil menyatukan Ferdinand II dari Aragon dengan Isabella dari Castilla pada tahun 1469. Sementara di kalangan muslim terjadi perebutan kekuasaan antara pengganti amir. Pada tahun 1492 Granada jatuh ke tangan Kristen. (Toledo telah jatuh pada tahun 1085, Cordoba pada tahun 1236). Sultan Bani Nasr terakhir, Muhammad XI kemudian melarikan diri ke Maroko. (Umar Lubis, Dunia Islam Bagian Timur dalam ETDI Vol. 2 Khilafah , 2003:229).
Berakhirlah kekuasaan Islam di Eropa yang telah berlangsung sejak tahun 756 atau sekitar 7,5 abad.
DINASTI DI MESIR
(1) Dinasti Ayubiyah (1174-1252). Ada sembilan penguasa Dinasti Ayubiyah. Dinasti ini dimulai dengan berkuasanya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi atau Saladin. Ia dilahirkan di Takrit tepian Sungai Tigris, berasal dari wilayah Kurdi. Nama besar dinasti ini diperoleh sejak berhasil mendirikan kesultanan bermazhab Sunni menggantikan Fatimiah yang bermazab Syiah. Dinasti Ayubiyah banyak berjasa dalam nembela tanah muslim dari serangan pasukan Salib.
(2) Dinasti Mamluk (1250-1517).
Kata mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Berbeda dengan 'abd, yang berasal dari ibu bapak hamba, mamluk berasal dari ibu bapak yang merdeka. Mamluk Dinasti Ayubiyah berasal dari suku bangsa Turki, Syracuse, Rum, Rusia, Kurdi dan Eropa. Ada 22 sultan Dinasti Mamluk yang pada dasarnya tidak menerapkan sistem turun temurun meski ada yang berkuasa hingga empat turunan.
Jasa monumental Mamluk : (1) kemenangan atas Nasrani Eropa yang ingin menguasai Syam. (2) kemenangan atas Mongol. (3) kemenangan atas Kerajaan Nubia sekaligus mengislamkannya. (4) menguasai Pulau Cyprus dan Rhodos

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Slogan "Lebaran di Bandung"

  Setelah perintah mundur dari Panglima Divisi III Kolonel   A.H. Nasution dikeluarkan, seluruh kekuatan TRI dan pejuang keluar dari kota Bandung. Lokasi markas dipilih seadanya karena waktu yang singkat (Sitaresmi dkk., 2002 : 137).   Setiap pasukan membangun pertahanan di selatan Bandung. Markas Divisi bertempat di jalan lintang antara Kulalet-Cangkring, Baleendah. Resimen Pelopor pimpinan Soetoko di sebelah barat dan Resimen 8 pimpinan Letkol Omon Abdurrahman serta MDPP di sebelah timur (Nasution, 1990 : 232). Sementara itu, seluruh Batalyon yang berada di bawah kendali Resimen 8 menempati tempat masing-masing. Batalyon 1 ke Dayeuhkolot, Batalyon 2 ke Cilampeni, Batalyon 3 ke Ciwidey (Suparyadi, 4 Maret 1997). Badan badan perjuangan membuat markas di Ciparay (Djadjat Suraatmadja, 8 September 1977). Setelah ditinggalkan penduduk pada tanggal 24 Maret 1946, keesokan harinya, pagi pagi sekali , tentara Inggris yang tergabung dalam Divisi ke-23, mulai bergerak memasuki kota Band

Kisah Perang Gerilya Jendral Sudirman

  Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya, Karsid Kartawiraji bekerja sebagai mandor pabrik tebu di Purwokerto. Ibunya, Sijem berasal dari Rawalo, Banyumas. Sejak kecil Sudirman dibesarkan oleh pamannya, Raden Tjokrosoenarjo (kakak ipar Sijem). Sudirman memperoleh pendidikan di   Hollands Inlandse School (HIS) Taman Siswa Purwokerto kemudian pindah ke Sekolah Wira Tama dan tamat pada tahun 1924. Setelah tamat di Sekolah Wira Tama, Sudirman melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo. Jiwa militansi Sudirman tertempa sejak ia masuk Hizbul Wathan (kepanduan Muhammadiyah). Kemudian Sudirman menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiah, temannya saat bersekolah di HIS Taman Siswa Purwokerto dan dikaruniai tujuh orang anak. Pada zaman pendudukan Jepang, Sudirman   meninggalkan profesi sebagai guru dan mengikuti latihan militer (Peta). Ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalion) di Banyumas.

Sarekat Rakyat

Pada kongres tanggal 20-21 April 1924 di Bandung, secara resmi SI Merah berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Dalam kongres ini juga ditetapkan bahwa barang siapa dianggap cakap menguasai komunisme ia dimasukkan mula-mula ke dalam Sarekat Rakyat dan setelah didiklat dalam organisasi itu barulah ia boleh masuk PKI. Demikianlah pendidikan ideologi komunis mulai dilaksanakan secara intensif. Setelah kongres bulan Juni 1924, PKI membangun Sarekat Rakyat sehingga organisasi massa ini berkembang dengan pesat. Sayangya PKI tidak dapat melakukan kontrol dan menanamkan disiplin serta ideologi partai kepada massanya. Pada akhir tahun 1924 beberapa cabang Sarekat Rakyat mengambil inisiatif sendiri menyelenggaraka n aksi-aksi teror di luar instruksi PKI. Sebagai akibatnya, timbullah gerakan-gerakan  anti komunis di kalangan masyarakat Islam yang fanatik dan hal ini mengakibatkan diambilnya tindakan keras oleh pemerintah kolonial. Akhirnya pada Kongres PKI tanggal 11-17 Desember 1924 di Kota Ged